Hobi mendaki gunung beberapa tahun terakhir kian marak. Ditambah lagi para pengguna media sosial yang mengunggah foto-foto ke akun pribadi, menambah rasa penasaran orang lain untuk mencicipi nikmatnya sensasi foto di atas gunung. Sebuah olahraga yang menguras mulai dari fisik, adrenalin, waktu, dan biaya yang terkadang tidak sedikit. Belum lagi risiko yang paling ditakuti adalah kematian. Namun bagaimanapun juga, semua itu akan terbayar lunas saat dapat mencapai ke puncak sebagai wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Salah satu eksekutif perasuransian yang suka dengan sensasi mendaki gunung ini adalah Manager Broker Technical Support and Claims Management PT JLT Reinsurance Brokers Girama Marito. Wanita yang biasa dipanggil Ita ini akhir tahun lalu berhasil mencapai basecamp Gunung Everest di Nepal. Kepada Media Asuransi, Ita mengisahkan perjalanannya ke pegunungan tertinggi di dunia itu bersama tujuh orang rekannya dalam satu rombongan.
Perjalanan dimulai dari Jakarta menuju Kathmandu. Dari ibukota negara Nepal, rombongan Ita melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat kecil ke Bandara Lukla. Bandara paling bahaya yang pernah ia kunjungi. Turun di Lukla berjalan kaki selama lima jam yang dihitung hari pertama. Tujuannya adalah kampung Pakdhing sebagai tempat penginapan pertama. Udara dingin di tempat ini sudah mulai terasa menusuk ke tulang. Setelah semalam beristirahat, keesokan harinya rombongan bertolak dengan berjalan kaki menuju kampung Namche. Di tempat kedua ini, Ita bersama rombongan melakukan aklimatisasi agar tubuh dapat beradaptasi dengan cuaca ekstrim dan oksigen yang tipis. Idealnya durasi aklimatisasi ini dilakukan selama dua hari, masing-masing sekitar lima jam. Proses aklimatisasi ini dipandu para guide setempat yang telah dipesan.
Setelah dari Namche rombongan beranjak menuju Tengboche dengan ditemani gerimis kecil dan cuaca super dingin. Diperkirakan hingga minus 12°C. Bahkan di penginapan harus tersedia penghangat api, dengan bahan bakarnya kotoran Yak. Binatang sejenis sapi, lazimnya digunakan membawa barang di daerah setempat. “Musuh utama kita saat itu adalah AMS (Acute Mountain Sickness). Untungnya dalam rombongan kami ada dokter. Sebab jika sudah terasa pusing saja sedikit, mimpi mendaki Everest bisa buyar,” ungkap Ita.
Setelah sekitar tujuh hari perjalanan, dan mampir di beberapa daerah pemukiman sebagai tempat penginapan, rombongan Ita sampai di Everest Basecamp. Di tempat itu mereka tidak lebih dari empat jam saja. Karena tidak diperkenankan mendirikan tenda, khawatir terjadi longsor salju. Mereka menginap di pemukiman terdekat. Ita mengisahkan dirinya menapaki Basecampe Everest tepat pukul 17.00 waktu setempat. Ketika waktu Maghrib mulai menjelang. Di saat langit berwarna merah saga menghiasi Pegunungan Himalaya yang berselimutkan salju. “Saya ingin berteriak sekencang-kencangnya. Bagus sekali. Rasanya hanya mimpi bisa sampai di tempat itu. Tidak sadar saya menangis haru,” kenangnya.
Bagi dia, keharuan itu tidak sekadar berhasil mencapai basecamp. Tapi ada alasan lain. Dari Jakarta banyak yang meragukan Ita bisa ke Himalaya. Karena beberapa bulan sebelum naik gunung, dia baru saja operasi diangkat kantung empedunya. Namun setelah dokter memberi izin, tekadnya tetap bulat untuk menaklukkan Himalaya yang sudah diniatkan setahun sebelumnya.
Untuk persiapan fisik, satu bulan sebelum berangkat, Ita rajin olahraga treadmill, naik-turun tangga, serta jogging. Sedangkan kalau persiapan perlengkapan komunitasnya sudah mengurus segala sesuatunya, termasuk pemandunya. Dirinya hanya membawa perlengkapan pribadi serta obat-obatan saja. Sedangkan untuk persiapan biaya, dia budget-kan sekitar 2.500 dolar AS. “Namun persiapan yang tak kalah penting adalah mental. Karena rintangannya cukup berat, kurang lebih 10 hari berjalan kaki,” tukasnya. Dia menghabiskan waktu sekitar 13 hari hingga kembali ke Jakarta lagi dengan selamat.
Ita mengatakan tertarik mendaki gunung baru tiga tahun belakangan ini. Itupun karena ditulari oleh teman SMA-nya. “Saya itu ditularkan XXXVIIIhobi ini ketika umur 45 tahunan. Emang sedikit telat, tapi itu tidak menjadi masalah. Awalnya diajak sekadar mengunjungi wisata air terjun. Kemudian kemping. Lama-lama jadi hobi naik gunung. Saya sudah beberapa kali ke Gunung Gede, Papandayan, Merbabu, dan Mahameru,” ungkapnya.
Dengan hobi ini, Ita mendapatkan keluarga baru. Padahal dari daerah dan profesi yang berlainan. “Di sana satu langkah waktu itu rasanya sangat berarti. Sebagaimana pekerjaan kita sehari-hari di kantor” tandasnya.
Technical Group Head PT Reasuransi MAIPARK Indonesia, Akbar Kusumanto juga memiliki hobi mendaki gunung yang baru dimulai tahun 2107 lalu. Menurutnya, hobi ini bermula dari ajakan temannya untuk sekadar trekking, namun lama-lama penasaran untuk melanjutkan ke puncak. Kepada Media Asuransi, Akbar mengaku memang menyukai aktivitas yang berkaitan dengan pegunungan. Mulai dari bersepeda gunung, trail run, trekking, hingga terbawa ke penelusuran lebih tinggi lagi ke puncak gunung. “Dengan mendaki tersebut saya dapat meresapi seutuhnya bagaimana keagungan Tuhan dengan ciptaannya yang begitu luar biasa,” ungkapnya.
Bagi Akbar, hobi mendaki gunung ini sebetulnya tidak terlalu diintensifkan. Dalam setahun dirinya hanya melakukan pendakian 3-4 kali saja. Selain karena umurnya yang tergolong tidak muda lagi, dia harus menyesuaikan jadwalnya dengan kesibukan kantor yang menumpuk.
Bagi pria ini, gunung yang didaki tidak mesti yang terkenal tingginya, namun bisa juga yang rendah-rendah. Yang terpenting adalah ada destinasi dan view menarik di gunung tersebut. Pada Oktober lalu dia ke Gunung Batur, Bali, hanya berdua bersama istrinya. Hal itu dia lakukan selepas acara Indonesia Rendezvous AAUI 2018 di Bali. Akbar sengaja meluangkan waktunya. Bersama komunitas terakhir dia ke Kawah Ratu di Gunung Salak, Bogor.
Di tahun 2019, Akbar berencana mendaki Gunung Latimojong di Sulawesi Selatan pada Februari nanti, dan di bulan April akan ke Gunung Semeru. Dari hobinya ini, dia memiliki pengalaman menarik, yakni saat naik ke puncak Merbabu. Di pertengahan jalan menuju puncak, tanpa diketahui ponselnya hilang sekitar jam lima Subuh. Saat itu posisinya sudah mendekati puncak. Diperkirakan tercecer saat beristirahat di lereng gunung sekitar jam dua pagi. Tidak berpikir panjang Akbar bergegas turun kembali. Seorang diri. Medan terjal tak dipedulikannya. Cukup jauh dia turun. Tiga jam perjalanan dia lalui.
Nahasnya sesampai di lokasi, ponsel tidak ditemukan. Dengan pasrah, Akbar kembali menuju puncak untuk bergabung dengan rombongan. Salah seorang pemandu menyeletuk, “Ndak usah khawatir. Biasanya barang hilang di gunung ini akan ketemu lagi. Pendaki gunung memiliki sikap toleran sangat tinggi. Jika ada yang menemukan, biasanya akan dikembalikan”.
Beberapa hari kemudian, setelah Akbar kembali beraktivitas sebagaimana biasanya. Istrinya menerima telepon dari seorang mahasiswi yang berdomisili di Yogyakarta. Wanita itu mengabarkan dia telah menemukan handphone milik Akbar saat berkemah di lereng Gunung Semeru. Wanita itu meminta alamat Akbar untuk mengirimkan ponselnya. “Handphone itu banyak data pentingnya, termasuk yang terkait dengan pekerjaan. Saya sedih, tapi pasrah. Untung saya tidak pernah mem password hingga mahasiswi itu dapat membuka dan mencari nomor istri saya,” tandas Akbar. B. Firman
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News