Fitch Ratings Indonesia memperkirakan nilai penerbitan surat utang (obligasi) korporasi dalam negeri di tahun ini akan mengalami peningkatan sebesar 10 persen. Penerbitan surat utang tersebut sebagian besar untuk membayar utang yang jatuh tempo dan kebutuhan pendanaan ekspansi. Rating Director Fitch Ratings Indonesia Eddy Handali mengatakan bahwa tahun 2019 sudah kembali menjadi momentum pertumbuhan untuk penerbitan surat utang, setelah di tahun lalu korporasi cenderung menahan diri karena banyaknya ketidakpastian yang muncul di pasar dan berdampak ke dalam negeri.
Menurut Eddy, korporasi di tahun ini sudah mulai mendapatkan kepastian dari faktor global seperti perang dagang dan kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar yang sudah mulai menguat kembali. Sehingga perusahaan-perusahaan dinilai sudah siap kembali untuk melakukan ekspansi. “Kita lihat ada peningkatan dari tahun lalu, menjadi Rp130-Rp140 triliun, naik sekitar 10 persen. Secara historikal pada 2018 turun dari 2017, tahun ini membaik disamping ada refinancing utang jatuh tempo sebesar Rp115 triliun,” katanya di Jakarta, Februari 2019.
Fitch Rating menilai, jika dilihat dari skenario bakal terjadinya pengetatan moneter oleh Amerika Serikat, korporasi di dalam negeri sudah lebih siap dibandingkan dengan kondisi sebelumnya. Perusahaan domestik saat ini telah melakukan hedging untuk utang-utang luar negeri sehingga tak ada lagi ketakutan kurangnya likuiditas. Selain itu, perbankan besar yang mengusai 65 persen pangsa pasar di Indonesia dinilai sudah memiliki permodalan yang cukup, jauh lebih baik dibanding bank di regional sehingga mereka mampu menyerap kerugian.
Sebelumnya, lembaga rating PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memprediksi pasar surat utang (obligasi) korporasi tahun 2019 ini cenderung stagnan. Nilai penerbitan obligasi korporasi tahun ini diprediksi Rp130 triliun. Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra mengatakan bahwa sebagian besar dikontribusi dari obligasi korporasi yang jatuh tempo senilai Rp112,4 triliun, dengan periode penerbitan paling banyak pada Juni dan Desember 2019.
“Biasanya waktu mereka jatuh tempo itu mereka refinancing. Refinancing biasanya dilakukan sebelumnya. Misalkan Juni (jatuh temponya), mereka mungkin biasanya issue (menerbitkan obligasi) di Maret,” katanya pada awal Januari 2019. Salyadi menambahkan, pada Juni tahun ini ada Rp40 triliun surat utang yang jatuh tempo, sementara Desember ada Rp39,8 triliun yang jatuh tempo.
Menurut catatan Pefindo, Juni dan Desember merupakan periode surat utang paling banyak yang jatuh tempo. Bila diasumsikan secara keseluruhan Rp112,4 triliun melakukan refinancing, maka jumlah penerbitan obligasi baru untuk melunasi jatuh tempo itu ditambah dengan obligasi baru. “Yang baru kami tidak terlalu optimistis, tidak begitu banyak. Mungkin hanya sekitar Rp20 sampai 30 triliun sehingga total tahun ini sekitar Rp130 triliunan,” tandas Salyadi.
Dari tahun ke tahun, nilai surat utang yang jatuh tempo tercatat meningkat. Tahun 2016, nilai obligasi jatuh tempo sebesar Rp50,7 triliun, tahun 2017 senilai Rp78,2 triliun, sementara tahun 2018 senilai Rp79,5 triliun.
Walau secara keseluruhan nilai penerbitan obligasi diperkirakan naik, ternyata ada emiten yang memilih untuk menurunkan jumlah obligasi yang diterbitkan di awal tahun ini. Salah satunya adalah PT Tridomain Performance Materials Tbk yang menurunkan jumlah penerbitan obligasi dari target awal Rp250 miliar menjadi Rp100 miliar.
Manajemen Tridomain mengatakan surat utang tersebut sudah mengantongi peringkat utang idA- dari PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo). Dalam penerbitan efek tersebut, Tridomain menunjuk PT Minna Padi Investama Sekuritas Tbk sebagai penjamin pelaksana emisi dan PT Bank Permata Tbk sebagai wali amanat. Dana penerbitan obligasi akan dimanfaatkan perseroan untuk pembayaran sebagian kewajiban anak usaha yaitu PT Eternal Buana Chemical Industries kepada PT Bank Sinarmas Tbk. Jika dana itu sudah dikembalikan anak usaha, maka dananya akan digunakan Tridomain untuk tambahan modal kerja.
Penerbitan obligasi Tridomain ini merupakan penundaan dari rencana semula di akhir tahun 2018. Secara keseluruhan ada delapan efek utang lain yang penerbitannya sempat tertunda pada akhir 2018 karena faktor kelengkapan administrasi. Tridomain, yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh Royal Chemie Corp Ltd, memiliki lini bisnis produsen bahan baku material khusus terutama bahan kimia.
PT Bank UOB Indonesia juga menerbitkan obligasi senilai Rp100 miliar yang seluruh dananya akan digunakan untuk menambah likuiditas perseroan tahun ini. Obligasi yang diterbitkan diberi kupon sebesar 8,20 persen dengan tenor dua tahun yang akan jatuh tempo pada 19 Januari 2020 nanti. Obligasi ini merupakan bagian dari Obligasi Berkelanjutan II Bank UOB Indonesia dengan target dana yang diperoleh mencapai Rp3 triliun. Bertindak sebagai penjamin pelaksana emisi obligasi ini adalah Indo Premier Sekuritas dan UOB Kay Hian Sekuritas.
Surat Utang Negara
Terkait dengan Surat Utang Negara (SUN), Head of Fixed Income PT Syailendra Capital Enry Danil mengatakan bahwa harga SUN saat ini sudah relatif tinggi dan membuat investor akan menunggu untuk melihat hasil dari Pilpres 2019. “Kisaran tingkat imbal hasil seri acuan 10 tahun akan relatif sama seperti sekarang di kisaran 7,7-7,8 persen hingga April,” katanya, awal Februari lalu.
Meskipun masih menunggu hasil pemilu, Enry memperkirakan pasar obligasi setelah Pemilihan Presiden untuk masing-masing skenario jika hasilnya sudah jelas. Prediksi tersebut berdasarkan analisis dan dengar pendapat dengan investor baik lokal maupun investor asing. Jika Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang menang, pasar obligasi diprediksi akan mengalami euforia untuk 2-3 bulan ke depan. Namun jika Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang menang, pada periode 2 3 bulan tadi pelaku pasar akan lebih menunggu kebijakan pemerintahan baru.
Namun, untuk investor dengan horizon investasi 3-5 tahun maka kondisi pasar obligasi pemerintah rupiah masih tetap menjanjikan, terutama karena saat ini yield investasi pasar SUN masih menjadi yang paling tinggi ketiga dibanding negara berkembang lain, terutama dari tingkat real return. Real return adalah ukuran keuntungan yang berpotensi dikantongi investor dari sebuah instrumen investasi dikurangi tingkat inflasi. Menurut Enry, posisi real return pasar obligasi Indonesia masih menarik, karena laju inflasi Indonesia saat ini di kisaran tiga persen, sangat rendah dan lebih baik dibanding lima tahun yang lalu.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum. Ada empat seri yang menjadi acuan di pasar, yaitu FR0063 bertenor lima tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun. Awal Februari tahun ini, harga SUN di pasar mengalami kenaikan yang tercermin dari posisi harga empat seri acuan tersebut.
Naiknya harga SUN yang sudah terjadi secara berturut-turut dalam empat hari perdagangan di awal Februari, membentuk tren penguatan harga yang meyakinkan (bullish). Tren bullish-nya pasar obligasi terbentuk ketika horizon risiko investor global terangkat damai dagang dan nada kalem (dovish) The Fed (Bank Sentral AS, Federal Reserve) pasca pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) akhir Januari 2019. Naiknya harga SUN pada pekan pertama Februari, seiring dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan menguatnya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menurunkan tingkat imbal hasilnya (yield). Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Menurut Head of Fixed Income Research PT BNI Sekuritas Ariawan, naiknya harga instrumen penjamin gagal bayar (credit default swap/CDS) obligasi dolar Indonesia dan nilai pembelian bersih investor asing sejak awal tahun menjadi indikator minat investor asing yang sedang besar ke pasar SBN. Selain itu, data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) 5,17 persen sepanjang tahun 2018 juga mencerminkan pertumbuhan Indonesia berada di atas ekspektasi konsensus pelaku pasar yakni 5,15 persen. Level pertumbuhan ekonomi yang positif itu turut menambah minat investor asing di pasar efek utang domestik. S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News