1
1

Pasar Finansial Indonesia Menuju Arah Positif

Para pembicara dari MAMI, Ezra Nazula (atas), Katarina Setiawan (kiri bawah), dan Samuel Kesuma (kanan bawah). | Foto: doc

Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menyampaikan bahwa pasar finansial Indonesia menunjukkan potensi yang menarik hingga akhir tahun.  Inflasi yang menurun, upah yang meningkat, dan belanja kampanye diharapkan dapat mendorong konsumsi domestik lebih tinggi di sisa tahun ini.  Sementara itu, kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang resilien dan inflasi yang terus melandai menciptakan sentimen positif bagi pasar, menopang harapan terjadinya soft landing, yakni inflasi terus turun namun resesi dapat dihindari.

Pandangan tim investasi MAMI ini disampaikan dalam acara Market Update: No Harsh Landing secara daring, Selasa, 15 Agustus 2023. Nara sumber yang menyampaikan materi adalah Director & Chief Investment OfficerFixed Income MAMI, Ezra Nazula, Chief Economist & Investment Strategist MAMI, Katarina Setiawan, dan Senior Portfolio Manager, Equity MAM, Samuel Kesuma.

Dalam kesempatan itu, Ezra mengatakan bahwa untuk mengatasi inflasi tinggi, sejak awal tahun 2022, bank sentral di kawasan negara maju telah melakukan pengetatan suku bunga paling agresif di era modern. Kabar baiknya, paruh kedua tahun ini diperkirakan akan menjadi babak akhir dari siklus kenaikan suku bunga seiring dengan inflasi yang kian melandai mendekati targetnya.

“Kita lihat angka inflasi di AS, Uni Eropa, dan Inggris yang pada akhir tahun 2022 sebesar 6,5 persen, 9,2 persen, dan 10,2 persen. Kemudian pada akhir Juni 2023 telah turun tajam menjadi 3,0 persen (AS), 5,5 persen (Uni Eropa), dan 7,9 persen (Inggris),” katanya.

|Baca juga: Sektor Jasa Keuangan Indonesia Stabil di Tengah Tekanan Global

Lebih lanjut dia jelaskan bahwa tahun 2023 menjadi dinamika tersendiri bagi perekonomian di AS dan Asia, khususnya China. Proyeksi pertumbuhan AS di tahun 2023 terus direvisi naik seiring data ekonomi yang resilien. Produk domestik bruto (PDB) AS di kuartal dua tumbuh 2,4 persen, lebih tinggi dari ekspektasi (1,8 persen) dan PDB di kuartal satu (2,0% persen. Selain itu, indeks manajer pembelian (PMI) AS di sektor jasa konsisten berada di zona ekspansi dan sektor tenaga kerja juga tetap kuat.

Di sisi lain, ekonomi yang resilien memberi tantangan bagi bank sentral, karena inflasi lebih persisten dan suku bunga bertahan tinggi lebih lama. Lembaga pemeringkat Fitch Ratings pun menurunkan peringkat kredit AS dari AAA menjadi AA+. “Hal ini disebabkan oleh penurunan yang berkelanjutan dalam standar tata kelola dan masalah plafon utang AS,” tutur Ezra.

Berbeda dengan AS, proyeksi pertumbuhan ekonomi China justru terus direvisi turun sejak Mei 2023 seiring data ekonomi China yang lebih rendah dari ekspektasi. PDB kuartal dua China yang sebesar 6,3 persen lebih rendah dari ekspektasi 7,3 persen.  Selain itu, penjualan ritel hanya tumbuh 3,1 persen di bulan Juni 2023, PMI sektor manufaktur di zona kontraksi dan PMI sektor jasa juga terus melemah. Program stimulus pun menjadi harapan untuk menopang momentum pemulihan ekonomi China.

Secara umum, kondisi inflasi dan kebijakan suku bunga di kawasan Asia relatif lebih kondusif dibandingkan di kawasan negara maju. Pada mayoritas negara Asia, inflasi telah mencapai target bank sentral dan inflasi terus menjinak, membuka ruang pemangkasan suku bunga.

Di sisi lain, selisih suku bunga dengan Fed Funds Rate yang menyempit menjadi faktor yang membatasi ruang gerak bank sentral kawasan Asia. Pelonggaran prematur dikhawatirkan dapat mempengaruhi stabilitas nilai tukar. “Langkah kebijakan bank sentral Asia diperkirakan akan menunggu arah perubahan dari The Fed,” terang Ezra.

Sementara itu, berbicara pasar domestik, Katarina mengutarakan bahwa meski The Fed masih menaikkan suku bunga, Bank Indonesia (BI) tetap mempertahankan tingkat suku bunga di level saat ini. Hal ini antara lain disebabkan karena suku bunga saat ini dianggap cukup untuk menahan inflasi dan selisih suku bunga BI terhadap The Fed semakin menyempit.

|Baca juga: Kinerja Fiskal Indonesia Dinilai dalam Kondisi Kuat

Pengendalian nilai tukar rupiah dilakukan oleh BI melalui instrumen lain, seperti intervensi valuta asing dengan menggunakan cadangan devisa dan program operation twist.  Sementara itu, tingginya surplus perdagangan sejak 2020 tidak serta merta mendorong peningkatan cadangan devisa.

Menurut Katarina, kondisi ini menunjukkan keengganan eksportir untuk mengonversi dana hasil ekspor ke mata uang lokal karena tingkat suku bunga yang kurang atraktif. “Regulasi yang mewajibkan penanaman Dana Hasil Ekspor untuk jumlah minimum ekspor US$250.000 selama tiga bulan diharapkan meningkatkan likuiditas dolar AS di dalam negeri dalam jumlah cukup besar dan membantu menjaga stabilitas nilai tukar rupiah,” jelasnya.

Dia menambahkan bahwa angka inflasi Indonesia masih menunjukkan penurunan lebih lanjut pada bulan Juni 2023 hingga kembali ke kisaran sasaran di level 3+1 persen, lebih cepat dari perkiraan semula. Realisasi ini menjadi yang terendah sejak 14 bulan lalu. Kembalinya inflasi ke sasaran merupakan hasil konsistensi kebijakan moneter serta eratnya sinergi pengendalian inflasi antara Bank Indonesia dan pemerintah, baik di tingkat pusat dan daerah. Kebijakan saat ini dipandang BI cukup untuk membawa inflasi ke kisaran target inflasi 3±1% di 2023 dan 2,5±1% di 2024.

Indikator ekonomi Indonesia menunjukkan peningkatan aktivitas domestik. Hal ini ditandai oleh beberapa hal, antara lain tingkat keyakinan konsumen yang terjaga baik, sehingga dapat mendorong minat konsumsi masyarakat. Selain itu, indikator investasi juga menunjukkan tren pemulihan dan BI mendukung penyaluran kredit dengan memotong RRR (reserve requirement ratio) untuk memenuhi kebutuhan dana dari berbagai sektor usaha. Di paruh kedua tahun ini, belanja pemerintah yang lebih tinggi serta mulai bergulirnya dana dari anggaran pemilu dapat meningkatkan konsumsi domestik, yang diharapkan mendukung pertumbuhan PDB Indonesia.

Dari segi risiko, investor perlu mencermati sejumlah hal. Pertama, dampak kebijakan bank sentral terhadap pertumbuhan ekonomi global dan kebijakan moneter negara berkembang. Kedua, faktor geopolitik yang bisa memunculkan ketidakpastian pada berbagai kebijakan dan dampaknya terhadap sentimen investasi. Selain itu, jelang Pemilu, investasi dan belanja modal diperkirakan akan mengalami penurunan. Ketiga, harga komoditas yang diperkirakan akan mengalami normalisasi tentunya bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, dan defisit fiskal.

Di lain pihak, Katarina menjelaskan bahwa kuatnya penerimaan pemerintah membuat defisit fiskal menurun, target defisit dipangkas Rp112 triliun ke 2,28 persen dari PDB dari sebelumnya 2,84 persen dari PDB). Karena defisit fiskal menurun sedangkan surplus kas (SAL) masih tinggi, maka penerbitan surat utang pemerintah untuk pendanaan defisit fiskal juga dipangkas, total sebesar Rp289,9 triliun.

“Akibat penerimaan fiskal yang kuat dan terkendalinya penambahan utang, maka rasio utang terhadap penerimaan pemerintah menjadi menurun.  Hal tersebut dapat mendukung daya tarik pasar finansial Indonesia,” katanya.

 

Editor: S. Edi Santosa

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Mewujudkan Kepastian Hukum Pemegang Polis Asuransi Melalui Penjaminan Polis
Next Post PLN Gandeng Mandiri dalam Pelaksanaan Sharing Ketenagalistrikan dan Penyusunan Economic Outlook

Member Login

or