Media Asuransi, JAKARTA – Artificial intelligence (AI) dinilai dapat memberikan manfaat positif terhadap demokrasi. AI bermanfaat untuk mencegah kecurangan, seperti meningkatkan literasi komunikasi politik pada pemberitaan hoax dan menangkal misinformasi dan disinformasi.
Hal ini disampaikan Edison Hutapea saat menjadi pembicara dalam diskusi daring bertajuk “Komunikasi, AI dan Literasi Politik: Peluang dan Tantangan” yang diselenggarakan oleh Paramadina Graduate School of Communication, Sabtu, 16 Desember 2023.
Menurut dia, AI juga dapat dimanfaatkan oleh tim pengusung elite politik tertentu untuk menganalisis hal-hal yang disukai oleh para pemilih, mengingat pada Pemilu 2024 sekitar 60 persen pemilik suara merupakan pemuda.
|Baca juga: AI Diprediksi Dapat Tingkatkan Efektivitas Kampanye Pemilu 2024
“AI dapat digunakan untuk mencari tahu apa saja yang disukai oleh para pemuda saat ini untuk kemudian dijadikan gimmick oleh tim pengusung elite politik tertentu dan disebarkan melalui berbagai media. Maka dari itu, mahasiswa harus memiliki critical review karena media tidak bersifat netral dan politik tidak lagi mengutamakan wacana yang bersifat rasional, namun lebih mengedepankan hal-hal yang bersifat emosional,” jelas Edison.
Dalam kesempatan yang sama, Wahyutama menyatakan bahwa dalam penggunaannya, AI memiliki kecenderungan untuk mengambil keputusan yang bersifat otomatis. Salah satunya dapat digunakan untuk melakukan proses pengambilan kebijakan. “AI juga dapat digunakan untuk menganalisis data dan mengambil kesimpulan berdasarkan data-data yang tersedia serta menganalisis dampak positif dan negatif dalam banyak hal,” katanya.
Wahyu menambahkan bahwa di sisi lain AI juga dapat mencederai demokrasi karena dapat mengambil data-data pribadi milik para pengguna media sosial. “Data-data tersebut diretas tanpa persetujuan pemiliknya dan digunakan untuk melakukan profiling kemudian dijual ke dalam dunia politik untuk hal-hal yang menguntungkan tim pendukung elite politik tertentu. Fenomena ini terjadi pada kasus pemilihan presiden di Amerika Serikat pada tahun 2016 yang pada akhirnya dimenangkan oleh Donald Trump,” jelasnya.
Wahyu memberi contoh tim pendukung Ferdinand Marcos Jr, yang memanfaatkan AI untuk membuat propaganda-propaganda politik yang bertujuan untuk menaikkan citra diri Marcos Jr. Mereka seperti menulis ulang sejarah, memperlihatkan seolah-olah Ferdinand Marcos Sr adalah seorang pahlawan, dan propaganda tersebut diperlihatkan kepada generasi muda di Filipina.
“Pada akhirnya, di media sosial TikTok, bermunculan tren yang menunjukkan dukungan para generasi muda Filipina terhadap Ferdinand Marcos Jr, seperti konten-konten berupa jingle, meme, dan dance challenge. Fenomena ini bisa terjadi karena generasi muda di Filipina tidak mengetahui fakta sejarah bahwa ayah dari sosok yang mereka dukung merupakan seorang diktator. Mereka termakan oleh propaganda politik yang disebarkan oleh tim pendukung Ferdinand Marcos Jr,” tutur Wahyu.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News