1
1

Mewujudkan Kesetaraan Asuransi dan Bank

Budi Sartono Soetiardjo Pemerhati Publik & Asuransi. | Foto: doc

Oleh: Budi Sartono Soetiardjo

 

Sebuah pertanyaan besar selalu berkecamuk di benak masyarakat, bahkan di kalangan insan asuransi, mengapa industri asuransi tidak bisa seperti bank, yang stabil, rigid, mandiri, minim gejolak, dan relatif dipercaya masyarakat.

Diksi “kesetaraan” mendorong penulis untuk menyampaikan pandangan, yang mudah-mudahan memberi manfaat serta membuka perspektif dan paradigma para pelaku industri asuransi untuk berbenah agar mampu menyejajarkan diri. Yakni duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, dengan industri keuangan lain, khususnya dengan industri perbankan.

Untuk itu, ada 6 hal krusial yang patut menjadi perhatian, yakni:

1. Komitmen Terhadap Utmost Good Faith

Prinsip itikad baik, Utmost Good Faith, adalah rohnya asuransi. Trust atau kepercayaan publik muncul apabila prinsip ini dapat dijalankan secara konsekuen dan berkeadilan. Konsekuen artinya “Satunya Tulisan dengan Tindakan”. Apa yang ditulis dan diperjanjikan di dalam polis wajib dipatuhi dan dilaksanakan, tanpa embel-embel apa pun.

Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen moral dan legal perusahaan asuransi untuk melaksanakan isi polis sebaik-baiknya. Adapun berkeadilan adalah bahwasanya itikad baik berlaku universal, tak hanya berlaku bagi pemegang polis, tapi juga buat para pelaku industri asuransi lainnya, terutama perusahaan asuransi, bahkan pemerintah. Perusahaan asuransi tak boleh diskriminatif dalam menerapkan prinsip Utmost Good Faith.

2. SDM

Sumber daya manusia menjadi episentrum keberhasilan organisasi perusahaan dalam melaksanakan misinya. Prinsip good governance dapat terlaksana dengan baik apabila SDM asuransi profesional dan berintegritas. Integritas menjadi sangat penting karena banyak perusahaan asuransi yang bermasalah saat ini, pangkal persoalannya terletak pada aspek ini.

Profesional saja tidak cukup, ketika integritas para pelaku industri asuransi memprihatinkan. Gagal bayar, penggelapan premi, dan lain-lain, adalah bukti nyata minimnya integritas sumber daya manusia.

3. Rate atau Tarif Premi

Perbedaan mendasar antara bank dan asuransi adalah pada elemen tarif. Pada perbankan, tarif yang disebut dengan suku bunga (rates) dapat dibilang relatif homogen, yakni berlakunya satu suku bunga untuk beberapa produk bank.

Hal ini berbeda jauh dengan industri asuransi, khususnya asuransi umum. Beda jenis risiko atau okupasi, berbeda pula tarifnya. Heterogenitas tarif ini tidak semuanya bisa dipahami masyarakat, sehingga muncul kesan ribet apabila hendak membeli polis asuransi.

Memberlakukan tarif flat atau mono tarif terhadap satu gugus atau sekelompok risiko (simple risk-medium risk-high risk), adalah solusi alternatif untuk menyederhanakan pentarifan.

4. Incentive

Insentif adalah bagian dari strategi marketing asuransi untuk menarik minat orang membeli polis asuransi, yang tujuan awalnya adalah untuk meningkatkan penjualan polis dan mengembangkan pasar. Namun, elemen inilah yang justru menjadi titik lemah perusahaan asuransi sehingga menimbulkan persaingan tidak sehat, menjadi ajang banting premi asuransi.

Sejauh yang penulis ketahui, di kalangan perbankan tidak mengenal insentif. Insentif mereka adalah pada keutamaan layanan, yakni kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan, serta yang tak kalah penting adalah kehati-hatian (prudent).

5. Prime Services (Layanan Prima)

Inilah kunci utama perusahaan asuransi apabila ingin memenangkan persaingan pasar. Seleksi alam akan berlaku apabila perusahaan asuransi tidak mengedepankan layanan yang baik, yang berujung pada terpenuhinya rasa kepuasan pelanggan (customer satisfacation).

Aspek after sales services yang buruk, seperti penyelesaian klaim yang bertele-tele, penolakan klaim tanpa dasar, bahkan gagal bayar klaim, merupakan proximate cause ambruknya citra dan nama baik perusahaan asuransi.

6. Regulasi dan Kepastian Hukum

Regulasi sangat terkait dengan  kepatuhan  semua pihak terhadap pengorganisasian, pengelolaan dan pengawasan kegiatan usaha. Eco system industri asuransi sehat dan kondusif apabila regulasi yang dibuat pemerintah mampu mengakomodasi berbagai  kepentingan para pihak yang aktif menjalankan usahanya  di industri ini. Regulasi,  harus sinkron juga dengan kondisi di lapangan. Sebagai contoh, Peraturan OJK yang mengatur tentang keagenan asuransi, khususnya asuransi umum, yakni  1 agen hanya boleh bekerja dan terikat pada 1 perusahaan asuransi, adalah produk hukum yang dibuat tanpa memperhatikan kondisi riil di lapangan.

Demikian pula, penegakan hukum dan kepastian hukum menjadi kata kunci apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang dilakukan oleh para pihak yang terlibat dalam aktivitas bisnis di industri ini. Nasabah/pemegang polis  asuransi yang nasibnya telah lama terkatung-katung akibat perusahaan asuransinya bermasalah, adalah potret nyata ketidak pastian hukum yang muncul  di dunia asuransi.

Industri asuransi bakal mampu meraih kesetaraan apabila upaya pembenahan dilakukan secara progresif dan terus-menerus. Karakter bisnis industri asuransi dan perbankan memang berbeda.

Namun, konsep bisnis mereka adalah sama, yakni sebagai industri jasa layanan. Inilah yang seharusnya dieksploitasi maksimal oleh industri asuransi, khususnya dalam aspek kecepatan, kemudahan, kenyamanan, dan kepuasan layanan.

 Salam,

Pemerhati Publik & Asuransi, Pengurus DPD A3UI Jawa Barat

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Waspada! Tantangan dan Risiko Masih Menghadang Pasar Asuransi di 2024
Next Post MarketScout: Tarif Asuransi Transportasi Melonjak 7,26% di 2023

Member Login

or