Media Asuransi, JAKARTA – Gallagher Re dalam Laporan Tahunan Bencana Alam dan Iklim mengungkapkan kerugian yang diasuransikan secara global akibat bencana alam mencapai sekitar US$123 miliar pada 2023. Hal tersebut menandai tahun keempat berturut-turut di mana kerugian tersebut melebihi US$100 miliar.
Menurut laporan tersebut, diperkirakan biaya ekonomi global dari semua bahaya alam mencapai US$357 miliar pada 2023. Kondisi tersebut menjadikannya tahun kedelapan berturut-turut di mana kerugian global telah melampaui US$300 miliar.
Berfokus secara khusus pada peristiwa iklim dan cuaca, tidak termasuk gempa bumi dan peristiwa yang tidak disebabkan oleh atmosfer, kerugian yang diasuransikan diperkirakan mencapai US$116 miliar, dengan biaya ekonomi mencapai sekitar US$301 miliar.
|Baca: Berikut Sejumlah Fakta Penyebab 7 Asuransi/Reasuransi dan 14 Dapen Masuk Pengawasan Khusus OJK
Laporan tersebut juga mencatat perusahaan asuransi swasta menyumbang US$110 miliar dari kerugian ini, sementara entitas asuransi publik menanggung US$13 miliar sisanya.
Chief Science Officer Gallagher Re Steve Bowen buka suara soal meningkatnya tingkat keparahan dan frekuensi kejadian bencana alam. Ia menekankan semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh industri asuransi dan reasuransi serta menyoroti perlunya perpaduan antara penilaian risiko saat ini dengan implikasi di masa depan.
Badai konvektif penyebab utama kerugian yang diasuransikan
Pada 2023, badai konvektif yang parah (SCS) merupakan penyebab utama kerugian yang diasuransikan, dengan perkiraan sekitar 58 persen atau mencapai US$71 miliar. Amerika Serikat mengalami kerugian sebesar US$60 miliar, dengan enam dari 10 peristiwa yang diasuransikan paling mahal adalah peristiwa SCS di AS.
“Puncak bahaya masih diantisipasi untuk mendorong kerugian peristiwa individu tertinggi. Namun, pertumbuhan kerusakan yang terus berlanjut dari bahaya non-puncak/sekunder, seperti SCS, mengubah cara kita memandang dan merencanakan risiko bencana alam,” kata Bowen, dikutip dari laman Insurance Business, Kamis 18 Januari 2024.
“Hal ini juga meningkatkan pentingnya analisis dan pemodelan bencana untuk mengukur dengan tepat bagaimana kombinasi perilaku kejadian yang dipengaruhi perubahan iklim dan parameter sosio-ekonomi menyebabkan potensi kerugian yang lebih tinggi,” tambah Bowen.
Laporan ini juga menyoroti kesenjangan perlindungan yang signifikan dalam cakupan asuransi global. Rentetan gempa bumi pada Februari di Turki dan Suriah merupakan kejadian yang paling mahal secara ekonomi, dengan perkiraan kerugian sebesar US$46,2 miliar. Namun asuransi hanya menanggung US$6,1 miliar.
“Kebutuhan pembiayaan iklim atau bencana alam yang lebih terjamin untuk memitigasi atau beradaptasi dengan dunia lebih kompleks dari bahaya alam menjadi penting dari hari ke hari. Pertumbuhan kemitraan sektor swasta dan publik yang menghadirkan opsi asuransi baru bagi masyarakat yang kurang terlayani merupakan tren menjanjikan,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News