Media Asuransi, JAKARTA – Asia Bancassurance Summit ke-23 diselenggarakan oleh Asia Insurance Review, setelah beberapa tahun absen karena Pandemi Covid-19. Indonesia menjadi negara pertama yang dipilih untuk mengadakan kegiatan ini setelah absen karena pandemi tersebut.
Seminar yang diikuti sebanyak 90 orang dari beberapa negara di Asia, seperti dari Malaysia, Philiphina, Kamboja, dan negara-negara Asia lainnya, menghadirkan puluhan pembicara dari berbagai negara dan pimpinan perusahaan asuransi baik dari dalam dan luar negeri. Tema yang diangkat adalah 3.0, karena bancassurance sekarang coba untuk dibangkitkan lagi beriringan dengan digitalisasi.
Acara rutin tahunan ini diadakan untuk meng-update perkembangan terakhir di berbagai sektor sesuai dengan topiknya. Untuk tahun ini yang menjadi bahasan utama adalah bancassurance. Perwakilan semua negara yang hadir pada acara ini meng-update perkembangan bancassurance terkini di masing-masing negara, khususnya di era digital.
Iwan Pasila dalam sambutannya mengatakan bahwa industri bancassurance di Indonesia juga menghadapi rendahnya penetrasi karena rendahnya tingkat melek huruf dan daya beli konsumen. “Ada juga persepsi negatif terhadap industri asuransi, dan tidak cukupnya upaya para pemain untuk memperdalam penetrasi,” katanya.
Meenurut Iwan Pasila, bancassurance memiliki potensi besar untuk meningkatkan literasi nasabah, karena sebagian besar sudah menyadari perlunya perlindungan finansial. Dia juga menyampaikan bahwa jika kita melakukannya dengan benar, ada peluang besar untuk meningkatkan penetrasi dan juga meningkatkan inklusi sehingga lebih banyak masyarakat Indonesia yang dapat terlindungi dan perekonomian mendapat manfaat.
”Meningkatkan penetrasi dengan teknologi penetrasi juga dapat ditingkatkan dengan alat digital seperti AI untuk mengembangkan dan memasarkan produk dengan lebih akurat, dibandingkan dengan lembaga tradisional dan penasihat keuangan,” ungkapnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News