Media Asuransi, JAKARTA – IFG Progress Financial Research, unit think thank dari Indonesia Financial Group (IFG), menginventarisir ada 5 tantangan yang dihadapi oleh industri asuransi kredit di Indonesia.
Seperti dikutip dari Economic Bulletin-Issue 13 yang diterbitkan oleh IFG Progress Financial Research tanggal 12 Juli 2022, kelima tantangan yang dihadapi bisnis asuransi kredit di Indonesia adalah: pertama, karakteristik dari produk asuransi kredit di Indonesia yang menyediakan kontrak jangka panjang yang mengunci pembayaran premi tunggal (single premium), kondisi perekonomian yang berubah dari waktu ke waktu tidak dipertimbangkan didalamnya.
Kedua, asuransi kredit tidak melihat aspek underwriting loan oleh bank dan tidak menguasai risiko kredit. Ketiga, tidak menguasai kwantifikasi risiko yang ada, sehingga rating menjadi spekulatif. Keempat, infrastruktur seperti sistem IT dan database yang digunakan belum memadai untuk dapat melakukan proses administrasi klaim yang efisien dan pencadangan dengan baik.
|Baca juga: Gandeng BPK, IFG Gelar Pelatihan Auditable Business Writing
Kelima, adanya informasi asimetris yang merupakan penyebab terjadinya moral hazard. Seperti yang ditulis oleh Sokolovska dan Sokolovskyi (2015): negara berkembang memiliki masalah informasi asimetris yang lebih besar dibandingkan dengan negara maju, karena adanya kesulitan dalam mendapatkan informasi dan instrumen yang dirancang untuk melindungi counterparties mungkin tidak tersedia sesuai kebutuhan.
“Secara regulasi, asuransi kredit masih membutuhkan adanya pengembangan dan penyempurnaan terutama terkait standarisasi terminologi atau definisi, jenis produk, persyaratan permodalan, pengawasan industri, dan perlindungan konsumen,” tulis IFG Progress.
Riset IFG Progress ini menunjukkan bahwa bisnis asuransi kredit di Indonesia memiliki perkembangan yang massif, berbeda dengan kondisi global yakni hampir di seluruh negara terutama di advanced economies, premi asuransi kredit memiliki porsi market share yang terbilang sangat rendah di industri asuransi umum. Kondisi tersebut mengartikan bahwa perkembangan industri asuransi kredit secara global relatif sangat terbatas sehingga kurang berkembang secara market.
Akan tetapi, lain halnya dengan kondisi di Indonesia, asuransi kredit justru memiliki porsi yang cukup tinggi di industri asuransi umum dengan besaran kontribusi premi mencapai 15%. Dengan demikian, industri asuransi kredit relatif menjadi main driver di sektor asuransi umum di Indonesia.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, industri asuransi kredit di Indonesia terpantau berkembang cukup pesat. Sepanjang tahun 2016-2020, kontribusi asuransi kredit terhadap asuransi umum tercatat double digit. Industri asuransi kredit menjadi kontributor utama pendorong pertumbuhan industri asuransi umum.
Selain itu, perkembangan tingkat penetrasi asuransi kredit di Indonesia juga terpantau meningkat pesat hingga mencapai dua kali lipat sepanjang tahun 2016-2019. Seiring dengan tingginya kontribusi dan masifnya perkembangan penetrasi, dapat dikatakan bahwa asuransi kredit memegang peranan penting bagi sektor keuangan dan perekonomian Indonesia.
|Baca juga: Raih PMN Rp6 Triliun, IFG Perkuat Modal Askrindo & Jamkrindo
Berdasar data pada laporan Statistik Perasuransian Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pada tahun 2020, total perusahaan asuransi umum yang menawarkan produk asuransi kredit tercatat sebanyak 26 perusahaan dengan didominasi oleh perusahaan asuransi lokal. Akan tetapi, konsentrasi industri asuransi kredit tersebut hanya terpusat pada 10 perusahaan dengan total market share terhadap keseluruhan total premi industri asuransi kredit mencapai 96% dengan 49% di antaranya disumbang oleh premi perusahaan asuransi milik BUMN.
Adapun, tipe produk asuransi kredit yang ditawarkan mayoritas merupakan produk asuransi kredit untuk perbankan. Jika dianalisa lebih lanjut, struktur industri asuransi kredit di Indonesia merupakan hasil kerja sama dalam bentuk penugasan pemerintah maupun dalam bentuk konglomerasi keuangan.
Asuransi Kredit Indonesia (Askrindo) sebagai market leader di industri asuransi kredit mendapat penugasan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk menjadi lembaga pendukung penyaluran KUR sebagai insentif bagi sektor UMKM. Selain itu, beberapa perusahaan asuransi kredit di Indonesia terindikasi termasuk ke dalam bentuk konglomerasi keuangan.
IFG Progress menilai adanya keterkaitan antarlembaga jasa keuangan dalam bentuk konglomerasi dalam praktiknya menimbulkan dua sisi perspektif berlawanan bagi sektor keuangan. Konglomerasi dapat mengurangi terjadinya risiko sistemik dikarenakan dalam praktiknya terdapat sharing risk dan diversifikasi sehingga menawarkan potensi untuk mengurangi risiko bangkrut.
Namun di sisi lain, praktik konglomerasi juga berpotensi menimbulkan moral hazard terutama jika kaitannya antara bank dan asuransi. Sektor asuransi dijadikan sebagai safety net untuk meminimalkan risiko sistemik. Perluasan kegiatan perbankan melalui konglomerasi ataupun integrasi dengan asuransi dapat menyebabkan timbulnya pengambilan risiko yang berlebihan yang berpotensi dapat melemahkan struktur sistem keuangan.
“Dengan demikian, dibutuhkannya regulasi dan pengawasan lebih lanjut pada industri asuransi kredit guna memitigasi terjadinya risiko sistemik di sektor keuangan Indonesia,” tegas IFG Progress.
Lebih lanjut, IFG Progress berkesimpulan bahwa asuransi kredit merupakan salah satu main driver di industri asuransi umum, ditunjukkan oleh kontribusi premi yang cukup besar. Di samping itu, perkembangan penetrasi asuransi kredit tercatat tumbuh cukup massif sehingga memberikan kontribusi terhadap perekonomian.
Sebagai sektor yang berperan dalam mengelola dan memitigasi risiko di sektor keuangan, asuransi kredit memiliki keterkaitan yang cukup kuat dengan sektor keuangan lainnya. Keterkaitan tersebut ditunjukkan dari mayoritas kepemilikan saham di industri asuransi kredit merupakan lembaga jasa keuangan lainnya.
Di sisi lain, keterkaitan asuransi kredit dengan sektor perbankan juga terlihat cukup kuat, karena asuransi kredit menjalankan perannya dalam mencegah peningkatan risiko kredit perbankan.
Namun, selama lima tahun terakhir kinerja pada bisnis asuransi kredit terlihat mengalami tren penurunan. “Sangat dibutuhkan dukungan kebijakan sektor keuangan serta kerangka regulasi yang solid guna meningkatkan pengawasan industri asuransi kredit,” jelasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News