Media Asuransi, NUSA DUA, BALI – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengakui bahwa tahun 2022 adalah tahun yang sangat menantang bagi industri asuransi umum.
Ketua Umum AAUI, Hastanto Sri Margi Widodo, mengatakan bahwa pandemi telah memberikan dampak yang besar terhadap industri asuransi umum. Menurutnya, angka kinerja pada semester I/2022 mungkin sudah memberikan beberapa harapan dan tanda pemulihan awal pada premi bruto, tetapi jangan sampai kita teralihkan dari fakta bahwa kondisi saat ini memburuk dan juga dari dekat terdapat risiko terkait arus kas serta akumulasi kewajiban. “Kondisi tersebut semakin diperparah dengan jadwal implementasi IFRS 17 yang akan terjadi pada tahun 2025,” katanya saat menyampaikan keynote speech dalam acara AAUI Indonesia Rendezvous 2022 di Nusa Dua, Bali, Kamis 13 Oktober 2022.
Widodo mengungkapkan outlook Ekonomi Dunia IMF pada Juli 2022 melukiskan bahwa masa depan ekonomi dunia yang lebih suram dan tidak pasti. IMF telah menunjukkan bahwa perlambatan global meningkat karena risiko penurunan terwujud, kejutan kenaikan inflasi, telah mendorong lebih banyak pengetatan bank sentral dan gangguan rantai pasokan global.
Di pihak lain, laporan Bank Dunia pada Agustus 2022 menyoroti moratorium utang, toleransi pinjaman, dan pelonggaran aturan provisi telah menciptakan kurangnya transparansi, khususnya dalam pengakuan pinjaman bermasalah (NPL).
|Baca juga: AAUI Selenggarakan Indonesia Rendezvous 2022 di Bali
Selanjutnya, terang Widodo, ADB pada September 2022 telah menaikkan perkiraan inflasi regional dari 3,7% menjadi 4,5% untuk 2022 dan dari 3,1% menjadi 4% pada 2023. Prospek tersebut juga merevisi turun perkiraan untuk negara berkembang Asia dari 5,2% menjadi 4,3% untuk 2022 dan dari 5,3% menjadi 4,9% untuk tahun 2023.
“Area dampak terburuk dari kemerosotan tersebut akan berada di area asuransi kredit. Sudah dua tahun sejak AAUI mengeskalasi masalah asuransi kredit pada November 2020,” katanya.
Terkait masalah asuransi kredit ini, Widodo bersyukur bahwa masalah ini sekarang telah diakui dan ditangani dengan serius oleh industri. Menurutnya, masalah terbesar dari bidang asuransi kredit adalah karena fakta bahwa premi tertulis tahunan sebenarnya terdiri dari kredit berjangka variabel dari 1 tahun hingga 20 tahun. “Studi kami menunjukkan bahwa distribusi jangka waktu kredit tersebut tidak merata dan bagian berat dengan 52,9% dari premi disumbangkan dari kredit tenor 15 tahun,” jelasnya.
Widodo menerangkan studi ini juga menunjukkan bahwa industri asuransi umum membutuhkan waktu lebih lama untuk melepaskan liabilitas dibandingkan dengan periode akumulasi. Oleh karena itu, tetap menerima bisnis dengan RTC saat ini untuk guncangan arus kas, menurutnya, sangat tidak disarankan karena risiko aset ke liabilitas mengalami mismatch.
Lebih lanjut, Widodo menerangkan tantangan lainnya yang dihadapi industri asuransi umum pada tahun 2022 adalah peningkatan klaim. Setelah klaim Bumi Suksesindo sebesar US$80 juta, yang US$60 juta berasal dari bagian Gangguan Bisnis, industri asuransi umum terkena klaim dari OKI Pulp and paper sebesar US$190 juta untuk Kerusakan Material dan Kerugian Sementara Interupsi Bisnis karena kerusakan dermaga laut pada Mei 2022.
“Lebih buruk lagi, kami lebih lanjut terkena PCI Electronic International Fire yang mencatat kerugian US$113 juta dalam Kerusakan Material dan Gangguan Bisnis,” katanya.
Menurutnya, besarnya jumlah kerugian pada ketiga klaim tersebut patut menjadi perhatian dan mungkin menimbulkan pertanyaan bagi pelaku asuransi umum, sedangkan pemodelan kejadian Gangguan Bisnis tersebut sama dengan Material Damage standar, yaitu pemodelan tingkat keparahan klaim harus benar-benar berbeda dan karena itu tidak dapat berbagi tarif yang sama.
“Dari kedua kasus tersebut, kita dapat dengan mudah melihat bahwa solusi termudah untuk keduanya, masalah kredit dan tingkat keparahan klaim, adalah berhenti menjadi bagian dari penerimaan dengan RTC yang menimbulkan masalah pada awalnya,” ujarnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News