Media Asuransi, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menilai industri asuransi nasional semakin siap mengadopsi teknologi dan memperluas penerapan asuransi parametrik. Namun, sejumlah tantangan mendasar masih harus diselesaikan, mulai dari skala produk, penentuan parameter risiko, hingga kesiapan ekosistem pendukung.
Wakil Ketua Bidang Teknologi Informasi, Penerapan Teknologi, dan Keuangan Digital AAUI Teguh Aria Djana menjelaskan konsep asuransi parametrik bukan hal baru bagi industri asuransi di Indonesia.
“Asuransi parametrik sudah ada di industri asuransi sekitar 10 tahun yang lalu,” kata Teguh, di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025.
Menurutnya pengembangan asuransi parametrik di Indonesia umumnya dimulai dari produk sederhana seperti asuransi perjalanan yang mencakup perlindungan terhadap keterlambatan penerbangan. Produk tersebut bekerja melalui integrasi aplikasi yang mampu mendeteksi keterlambatan maskapai lebih dari 60 menit atau dua jam.
Teguh menjelaskan mekanisme ini memungkinkan klaim diproses secara otomatis tanpa laporan manual dari nasabah. Hal ini mempercepat layanan serta meningkatkan pengalaman pelanggan. Selain itu, inovasi parametrik juga mulai merambah sektor lain seperti indeks cuaca dan curah hujan.
Namun, Teguh menilai, tantangan terbesar terletak pada pendefinisian parameter yang benar-benar mewakili akar penyebab risiko. “Terkadang ada banyak faktor. Bukan hanya hujannya, tapi mungkin medannya sendiri, kondisi cuaca atau anginnya, apa saja yang bisa kita sepakati parameternya. Saya pikir itu bisa dilakukan,” tuturnya.
|Baca juga: OJK Catat Kinerja Pasar Modal RI Tetap Ciamik di November 2025
|Baca juga: Berikut Prediksi IHSG dan 4 Rekomendasi Saham untuk Jemput Cuan di Akhir Pekan
|Baca juga: OJK Kenakan Denda Rp1,005 Miliar kepada 8 Pihak di Pasar Modal
Selain akurasi parameter, isu skalabilitas juga menjadi hambatan utama. Teguh mencontohkan kebutuhan kelompok tani yang membutuhkan cakupan luas dan mekanisme kompensasi yang lebih beragam.
Dirinya melihat peluang agar kompensasi tidak terbatas pada pemberian uang tunai, tetapi juga rekomendasi kepada bank untuk restrukturisasi pinjaman, sehingga ekosistem keuangan tetap stabil meski terjadi bencana.
Ia turut menyoroti potensi inovasi tarif berbasis parameter, termasuk untuk risiko kecelakaan sepeda motor. Dengan ketersediaan data yang lebih kaya, premi bisa disesuaikan secara dinamis mengikuti waktu dan tingkat risiko.
“Jadi premi berhubungan langsung dengan acaranya. Jadi mungkin tarifnya pada jam-jam tertentu seperti saat pagi atau mungkin berbeda di sore hari, saat ada jam besar atau jam sibuk, atau mungkin jauh lebih murah atau bahkan mungkin lebih tinggi di tengah malam,” ucap Teguh.
Menurut Teguh produk parametrik diperkirakan berkembang pesat pada kategori asuransi mikro. Hal ini diyakini dapat mendorong peningkatan penetrasi asuransi digital yang saat ini masih berada di bawah tiga persen. Ia berharap angka tersebut bisa mendekati 10 persen dalam 10 tahun mendatang seiring semakin kuatnya transformasi digital di perusahaan asuransi.
Teguh turut menekankan pentingnya teknologi IoT dan telematika dalam pengumpulan data real time, serta pemanfaatan AI generatif untuk penilaian risiko, termasuk risiko kredit. Ia meyakini inovasi parametrik dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi nasabah, tidak hanya dalam bentuk dana tunai, tetapi juga dukungan tambahan.
Hal itu, tambahnya, agar mereka dapat segera kembali menjalankan aktivitas harian. “Tidak hanya uang atau dana, tetapi juga beberapa hal lain yang dapat mereka lakukan agar dapat kembali melakukan aktivitas rutin sehari-hari dan aktivitas normal secepatnya,” tutup Teguh.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
