Media Asuransi, JAKARTA – Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mengusulkan agar program dana jaminan yang ada saat ini, tidak secara langsung 100 persen dilepas, jika Program Penjaminan Polis mulai berlaku. AAUI Berharap dana jaminan itu tetap ada secara proporsional seiring program penjaminan polis yang sudah berjalan. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum AAUI, HSM Widodo, dalam RDPU dengan Komisi XI DPR RI, mengenai RUU PPSK, 5 Juli 2022.
AAUI menilai bahwa RUU PPSK ini sudah mencakup beberapa masukan atau usulan dari asuransi umum, diantaranya: pertama, penegasan perluasan ruang lingkup asuransi umum berupa penjaminan kredit/pembiayaan dan suretyship, yakni di Bab VI Pasal 36 ayat 3. Kedua, pemisahan secara tersendiri perasuransian dan dana pension dari struktur pengawasan IKNB OJK, yakni pasal 8 ayat 8. Ketiga, dalam menyelenggarakan usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, perusahaan asuransi umum, perusahaan asuransi jiwa, perusahaan reasuransi, perusahaan asuransi umum syariah, perusahaan asuransi jiwa syariah, perusahaan reasuransi syariah dapat menggunakan.
Terkait dengan usulan atau pendapat mengenai KSSK, mengacu pada: Pasal 4, yakni Ruang lingkup UU yang mengatur ekosistem sector keuangan (ITSK, perbankan, pasar modal, uang dan valuta asing, perasuransian, program penjaminan polis, dana pension, dll). Dan Pasal 6 ayat 2, tentang perubahan tugas KSSK pasal 5 huruf c menjadi: melakukan penangangan prmasalahan ekosistem sector keuangan dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun kondisi Krisis Sistem Keuangan.
|Baca juga: Lembaga Penjamin Pemegang Polis, Harapan Tertanggung dan Pialang Asuransi
“Maka, AAUI mengusulkan untuk mempertimbangkan memperluas kewenangan KSSK pada pasal 6 huruf (i) menjadi: i. Menetapkan langkah yang harus dilakukan oleh anggota KSSK untuk mendukukng pelaksanaan penanganan permasalahan Bank Sistemik oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan atau penanganan permasalahan pada Lembaga keuangan selain bank dengan potensi dampak sistemik,” kata Widodo.
Menurutnya, AAUI merasa ini penting sekali terutama saat kita keluar dari program countercyclical di bulan Maret 2023. Terutama apabila ada asuransi-asuransi yang memang memiliki coverage asuransi kredit di bank, dengan ekuitas yang sudahs tidak cukup. “Dan saya rasa OJK memiliki mekanisme untuk memerintahkan langsung, yang dapat digunakan oleh KSSK untuk melakukan perbaikan secara berkolaborasi dengan lebih baik. Paling tidak kita melihat, sekiranya ada permasalahan yang berpotensi sitemik, maka ini dapat diselesaikan melalui koordinasi di KSSK,” tambahnya.
Berikutnya adalah usulan mengenai penjaminan polis. Mengacu pada Pasal 63: Setip Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta Program Penjaminan Polis dan Pasal 64 huruf b: Perusahaan Asuransi wajib memiliki kondisi keuangan yang sehat saat ada dalam penjaminan polis.
“Dengan melihat kondisi saat ini yakni banyaknya perusahan asuransi yang berada dalam pengawasan khusus OJK, kedua pasal ini tentunya menjadi bertentangan. Tetapi ada yang menarik, kebetulan saya pernah bekerja di shiping company, ada beberapa asuransi di pelayaran itu yang dibuat seperti club, jadi seperti P & I Club, yakni kita semua bergotong-royong untuk menalangi yang sedang dalam kondisi susah. Sebenarnya konsep dasarnya penjaminan polis adalah seperti itu,” kata Widodo.
|Baca juga: BPKN Desak Pemerintah Percepat Pembentukan Lembaga Penjamin Polis
Dengan kondisi yang ada dan rencana penerapan IFRS 17 atau PSAK 74 pada Januari 2025, yakni insurance contracts atau contractual service margin akan diterapkan pada 1 Januari 2025, maka akan menimbulkan pembebanan untuk onerous portfolio pada tanggal penerapannya. Hal tersebut diperkirakan akan membuat banyak sekali perusahaan asuransi masuk pada area kurang sehat. “Kalau itu kemudian memburuk menjadi penutupan-penutupan, maka yang harus kita pikirkan dari kondisi penjaminan polis ini harus kita jaga agar penjamin polis ini tidak run off oleh kondisi-kondisi akibat permasalahan yang terjadi seperti ini. Oleh karena itu, kami mengusulkan dapat ditambahkan klausula khusus,” tegasnya.
Kemudian mengacu pada Pasal 53 ayat 3 Undang-undang Nomor 40 tahun 2014: Pada saat program penjaminan polis berlaku berdasarkan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ketentuan mengenai Dana Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
Menurutnya, jika kita lihat pada undang-undang yang saat ini kita review, pada Pasal 66 huruf b: Program Penjaminan Polis hanya menjamin unsur proteksi pada setiap produk asuransi, kecuali: a. produk asuransi yang berkaitan dengan produk investasi, b. produk yang nilai jaminannya dalam nilai tertentu (cukup besar), c. produk dengan karakteristik pemegang polis tertentu.
“Jika nantinya diterapkan, konsekuensi dari adanya penjaminan secara parsial terhadap produk-produk tertentu dan pada risiko-risikonya saja dan adanya pelepasan dana jaminan itu yang nilainya sekitar Rp20 miliar setiap perusahaan, saat ini ada dan menjadi last resort bagi perusahaan asuransi jika terjadi penutupan. Menurut kami, mungkin ada baiknya kita pertimbangkan bahwa dana jaminan yang ada itu tidak 100 persen dilepas, melainkan tetap ada secara proporsional seiring program penjaminan polis yang sudah berjalan,” kata Ketua Umum AAUI ini.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News