Media Asuransi, JAKARTA – AXA Financial Indonesia (AFI) membukukan laba setelah pajak sebesar Rp22 miliar sepanjang semester I/2025 atau tumbuh 148 persen dibandingkan dengan periode sama tahun lalu. Lonjakan ini menjadi pencapaian signifikan mengingat tahun lalu perusahaan mengalami pertumbuhan negatif.
“Jadi pertama yang saya ingin sampaikan adalah dalam enam bulan di 2025 ini, kita berhasil membukukan profit Rp22 miliar. Rp22 miliar itu adalah 148 persen dari tahun lalu. Jadi tahun lalu itu kita pertumbuhannya negatif,” kata Direktur AXA Financial Indonesia Bukit Radardjo, dalam paparan kinerja di Jakarta, Selasa, 5 Agustus 2025.
|Baca juga: Begini Strategi Maybank Indonesia (BNII) Bangun Bisnis Keberlanjutan UKM
|Baca juga: Repricing Saja Tidak Cukup, AXA Financial Bongkar Jurus Tahan Klaim Membengkak dan Tetap Cuan
Bukit menilai pencapaian ini mencerminkan keberhasilan strategi bisnis perusahaan meski tren klaim masih menunjukkan pola yang sama seperti tahun lalu. AFI mencatat total klaim sebesar Rp396 miliar hingga Juni 2025, atau turun empat persen secara tahunan.
“Tapi empat persen itu menurut saya stagnalah dengan tahun lalu. Ini artinya apa? Artinya adalah kita benar-benar bisa merealisasikan komitmen kita kepada nasabah. Tetap bisa membayarkan klaim dan tetap bisa membukukan profit,” ujarnya.
Ia menekankan profit yang diperoleh perusahaan tidak mengorbankan kewajiban kepada nasabah, karena selain mencatatkan laba yang besar, jumlah klaim yang dibayarkan juga tetap tinggi.
|Baca juga: Menuju Maybank Marathon 2025, Semangat Para Pelari Dijaga Lewat Road To Maybank Marathon
|Baca juga: OJK Restui Iwan dan Tan Rudy Eddywidjaja Menjabat Direktur BFI Finance (BFIN)
Kinerja positif tersebut, menurutnya, didorong oleh pertumbuhan premi sebesar 18 persen pada semester I/2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ia menambahkan bahwa ini merupakan tahun kedua secara berturut-turut AXA Financial Indonesia mencatatkan pertumbuhan pendapatan premi dua digit.
“Yang menarik dari 18 persen adalah ini tahun kedua kita memiliki perkembangan dan pendapatan premi enam bulan pertama double digit dua tahun berturut-turut. Tahun lalu 17 persen, tahun ini 18 persen,” ungkapnya.
Pertumbuhan ini terjadi di tengah tekanan industri asuransi jiwa yang masih stagnan. Bukit menyebut strategi perusahaan berhasil menjaga kepercayaan nasabah dan meningkatkan bisnis baik dari penjualan baru maupun perpanjangan polis (renewal).
“Kepercayaannya sangat luar biasa. Karena pendapatan premi ini bukan hanya bisnis, bukan hanya sales yang baru, tapi renewal, renewal-nya cukup strong. Sehingga kita bisa mendapatkan 18 persen, ditambah tadi 26 persen peningkatan dari penjualan,” ujar Bukit.
Ia membeberkan tiga faktor yang menjelaskan kinerja negatif tahun lalu namun menjadi fondasi pertumbuhan tahun ini. Pertama adalah meningkatnya tren klaim, namun AFI tetap menjaga komitmen pada nasabah. Kedua adalah strategi ekspansi geografis ke kota-kota baru yang kini mulai menunjukkan hasil positif.
|Baca juga: OJK: Penipuan Transaksi Jual Beli Online Jadi Peringkat Pertama Pengaduan Konsumen
|Baca juga: OJK Nilai Target IHSG 8.000 dari BEI Realistis, tapi Ingatkan Risiko Ini
“Strategi untuk mengembangkan di kota-kota baru. Nah ini membuahkan hasil dengan 18 persen peningkatan pendapatan premi di enam bulan ini dan 17 persen di tahun lalu,” jelasnya.
Ketiga, lanjutnya, adalah investasi besar pada teknologi digital yang dilakukan tahun lalu, termasuk teknologi OCR untuk mempercepat proses underwriting dan penerimaan bisnis baru. “Ini membuat percepatan proses penerimaan new business pesat. Sehingga membuat rekan-rekan tenaga pemasar seakan-akan memiliki support yang luar biasa dalam penjualan,” katanya.
Dari sisi permodalan, AFI mencatat ekuitas sebesar Rp1,6 triliun atau tumbuh dua persen dibandingkan dengan tahun lalu. Pertumbuhan ini dinilai tetap signifikan mengingat besarnya nilai ekuitas yang sudah dimiliki perusahaan.
“Yang saya mau highlight di sini adalah masih tetap terjadi pertumbuhan. Walaupun kita sudah melakukan investasi, kita sudah melakukan pembayaran klaim dengan tren klaim yang luar biasa. Tetap mendapatkan perkembangan bisnis dua persen di dalam ekuitas,” jelasnya.
|Baca juga: Fenomena Rohana-Rojali Merebak, Bos OJK Ungkap Biang Keroknya!
|Baca juga: OJK Pede Kesepakatan Tarif AS-RI Bawa Angin Segar untuk Sektor Keuangan Indonesia
Rasio kecukupan modal atau Risk-Based Capital (RBC) perusahaan juga berada di level tinggi, yakni 729 persen untuk bisnis konvensional dan 742 persen secara gabungan (konvensional dan syariah), jauh di atas rata-rata industri yang sekitar 315 persen.
“Ini salah satu yang tertinggi di industri. Jadi kalau kita lihat rata-rata industri itu 315 persenan. Kita double dari 315 persen rata-rata industri,” pungkas Bukit.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News