Media Asuransi, JAKARTA – Aksi demonstrasi yang berlangsung di beberapa titik di Jakarta mulai dari Kamis, 28 Agustus 2025 hingga Jumat, 29 Agustus 2025, sempat terjadi kericuhan dan menyebabkan beberapa kendaraan mengalami kerusakan.
Pengamat Asuransi Wahju Rohmanti menilai posisi asuransi masih dianggap bukan kebutuhan primer oleh sebagian besar masyarakat. Karena itu, kerusakan akibat aksi massa tidak serta-merta meningkatkan minat masyarakat untuk membeli produk asuransi.
|Baca juga: IHSG Ambruk Akibat Aksi Demo Kian Panas
“Menurut saya, kembali ke klasifikasi asuransi yang bukan kebutuhan primer. Maka ketika terjadi risiko yang menimpa orang lain tidak bisa secara langsung meningkatkan kesadaran masyarakat untuk membeli asuransi,” ujar Wahju, kepada Media Asuransi, Jumat, 29 Agustus 2025.
Lalu bagaimana pentingnya asuransi dalam kondisi seperti ini?
Menurut Wahju momentum kericuhan bisa menjadi bahan pertimbangan bagi aplikator seperti Gojek dan Grab untuk mulai memberikan perlindungan asuransi bagi mitra pengemudi. Bahkan, Wahju mengatakan, pemerintah juga bisa mengambil langkah lebih jauh dengan mewajibkan hal tersebut.
“Namun, hal ini bisa memperkuat pertimbangan Gojek atau Grab untuk mengasuransikan pengemudi atau bahkan pemerintah bisa mengharuskan hal tersebut,” jelas Wahju.
|Baca juga: Percepat Layanan Perbankan, BTN Hadirkan Digital Store di BEI
|Baca juga: Sri Mulyani Batal Umumkan APBN Hari Ini, Jadwal Diundur Sampai Kapan?
Lebih lanjut, Wahju menjelaskan, secara prinsip dasar asuransi, para pengemudi ojek daring bukanlah pegawai resmi dari aplikator, melainkan pengguna aplikasi sama seperti pelanggan. Dengan demikian, perusahaan aplikator tidak memiliki kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest) terhadap para pengemudi.
“Artinya tidak ada kerugian yang dialami aplikator apabila pengemudi mengalami risiko. Kalau pun aplikator kemudian memberikan asuransi secara bisnis maka preminya pasti juga akan dipotong dari tarif pengemudi. Sehingga dengan konsekuensi potongan itu, ikut atau tidak ikut asuransi menjadi opsional bagi pengemudi,” ujarnya.
Ia menambahkan risiko utama yang mungkin dihadapi aplikator jika tidak memberikan perlindungan asuransi hanyalah pada aspek reputasi. Namun, masalah lain yang muncul adalah masih banyak pengemudi yang menganggap diri mereka sebagai karyawan aplikator.
|Baca: Francis Lay Sioe Ho Resmi Jadi Presiden Komisaris BFI Finance (BFIN)
|Baca juga: Airlangga Beberkan Jurus Konsumsi untuk Dongkrak Ekonomi RI Capai 8%
“Anggapan ini tidak seluruhnya salah, karena praktiknya aplikator seolah memberikan ‘gaji’ periodik kepada pengemudi walau niat awalnya hanya untuk promosi menarik minat pengemudi untuk menggunakan aplikasinya,” pungkas Wahju.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News