Media Asuransi, JAKARTA – Bisnis asuransi kredit saat ini dinilai telah masuk ke dalam siklus hard market di tengah kondisi penurunan pendapatan premi lini bisnis asuransi kredit.
Mengutip International Risk Management and Insurance Society (IRMI), hard market adalah kondisi siklus pasar dimana terjadi peningkatan premi tetapi di sisi lain terjadi penurunan kapasitas untuk sebagian besar jenis asuransi. Kondisi tersebut disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain kinerja investasi perusahaan asuransi yang turun, meningkatnya kerugian, dan intervensi regulasi yang dianggap bertentangan dengan kepentingan perusahaan asuransi.
Data Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) per kuartal III/2021 mencatat perolehan premi lini asuransi kredit mengalami kontraksi sebesar 12,2% menjadi Rp8,49 triliun dibandingkan dengan periode yang sama 2020 sebesar Rp9,67 triliun.
Penurunan premi tersebut sejalan dengan tingkat klaim yang juga mengalami penurunan, pada kuartal III/2021 mengalami penurunan tajam sebesar 36,7% menjadi Rp3,79 triliun dibandingkan dengan periode yang sama 2020 sebesar Rp5,99 triliun. Padahal sepanjang 2020, tingkat klaim dibayar lini asuransi kredit masih mengalami pertumbuhan sebesar 4,5% menjadi Rp10,72 triliun dibandingkan dengan 2019 sebesar Rp10,26 triliun.
Terhadap total premi asuransi umum, porsi premi asuransi kredit pun melorot ke urutan ketiga per kuartal III/2021 setelah asuransi properti dan asuransi kendaraan bermotor. Adapun sepanjang tahun 2020, porsi premi asuransi kredit menempati posisi kedua setelah asuransi properti.
|Baca juga: Cegah Risiko Gagal Bayar, Akseleran Implementasikan Proteksi Asuransi Kredit
Chartered Insurance Institute (CII) Ambassador Russel Effandy menilai saat ini dari konteks siklus asuransi bisa dikatakan persaingan bisnis asuransi kredit masuk dalam tahap hard market yakni kapasitas akseptasi sulit dicari atau harga ditentukan oleh asuransi.
“Sebaiknya momentum ini bisa dimanfaatkan untuk mencari solusi yang bijak agar produk asuransi kredit ini bisa langgeng dan lestari,” katanya kepada Media Asuransi, Jumat, 10 Desember 2021.
Selain itu, sambungnya, perlu juga mulai dipikirkan terkait wording standar bagi pelaku agar pemahaman yang seragam dari para pemangku kepentingan dapat membantu terselenggaranya produk asuransi kredit ini secara baik dan benar.
Dalam kondisi pandemi saat ini, Russel mengatakan pemain asuransi kredit harus menjalankan kebijakan akseptasi pemberian pinjaman yang prudent agar dapat meningkatkan kualitas pinjaman itu sendiri. “Banyak risiko yang perlu diwaspadai oleh perusahaan asuransi kredit, tetapi memang risiko dari peminjam yang berumur lanjut perlu ditelaah dan dievaluasi lebih dalam,” jelasnya.
Seiring dengan adanya kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit yang diperpanjang masa berlakunya, Russel menilai pihak asuransi dan bank harus berembuk mencari titik temu tarif yang win-win bagi semua pihak dan tetap mendukung masyarakat dalam pertumbuhan yang selayaknya didukung pemerintah terutama di masa pandemi.
“Solusi produk stop loss yang sejatinya adalah produk reasuransi, memang dimungkinkan untuk menjadi solusi sementara, tetapi kembali lagi hal ini sepenuhnya diserahkan pada mekanisme pasar asuransi yang akan selalu dinamis,” ujarnya.
Terkait dengan penurunan tingkat klaim asuransi kredit, terang Russel, hal tersebut mungkin sebagai dampak dari kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit. Relaksasi kredit adalah kebijakan yang memudahkan sebagian debitur yang tidak mampu menjalani kewajiban dalam membayar kredit. Kebijakan ini tertuang dalam POJK No. 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical.
Lebih lanjut, Russel menjelaskan bahwa asuransi kredit adalah proteksi yang diberikan oleh pihak asuransi kepada bank umum/lembaga pembiayaan keuangan atas risiko kegagalan debitur dalam melunasi kredit atau pinjaman yang diberikan oleh bank umum/lembaga pembiayaan keuangan. Di Indonesia, asuransi kredit bisa disamakan dengan Loan Guarantee di industri asuransi internasional karena berbeda dengan trade credit insurance yang sebetulnya di Indonesia dinamakan asuransi kredit perdagangan.
|Baca juga: Asuransi Perlu Hati-hati Memasarkan dan Mengelola Risiko Asuransi Kredit
Di Indonesia, jenis asuransi kredit ada dua yaitu asuransi umum dan asuransi jiwa. Untuk asuransi umum biasanya yang dijamin adalah kegagalan bayar yang disebabkan oleh debitur mengalami PHK dan tingkat kolektabilitas tertentu yang disepakati. Sementara itu untuk asuransi jiwa adalah kegagalan bayar yang disebabkan oleh debitur meninggal dunia (normal atau natural death) dan kecelakaan diri atau personal accident.
Skema pertanggungan atau penutupan dalam asuransi kredit bisa dilakukan secara silent basis, yakni tertanggung tidak ikut dalam penutupan yang artinya diserahkan kepada bank. Namun ada juga yang dilakukan dengan skema non silent basis, yakni tertanggung atau debitur ikut terlibat dan memutuskan adanya kebutuhan untuk penutupan asuransi kredit. Namun hal ini diserahkan oleh kedua belah pihak yang terlibat dalam kontrak pinjaman karena akan mempengaruhi besaran bunga pinjaman yang ditetapkan.
“Prospek asuransi kredit ini sangat baik ke depannya asalkan dikelola dengan prudent dan profesional. Prudent dengan maksud mengetengahkan pemahaman risiko yang baik dan profesional dengan maksud mendahulukan kepentingan nasabah.”
Oleh karena itu, Russel meminta setiap produk asuransi kredit harus selalu dipantau oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bila trennya mengarah ke negatif maka OJK harus cepat bersikap. “Jika trennya negatif, harus ada aturan baru terkait term and condition baru termasuk tarif dan sebagainya dengan maksud memperbaiki keadaan,” pungkasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News