Media Asuransi, JAKARTA – Penelitian baru dari Accountability Framework initiative (AFi) dan CDP menunjukkan bahwa perusahaan harus segera bertindak agar bisa mengatasi dampak deforestasi pada seluruh rantai pasoknya. Sebanyak 211 perusahaan yang mempublikasikan kebijakannya telah mengidentifikasi risiko terkait hutan senilai hampir US$80 miliar.
Laporan ini mengajak perusahaan untuk segera meningkatkan aksi saat lebih dari 100 pemimpin dunia dan 30 lembaga keuangan terbesar dunia menyatakan komitmennya di COP26 untuk menghentikan deforestasi maupun pengrusakan ekosistem lainnya. Langkah ini perlu diambil mengingat deforestasi dan pengrusakan ekosistem lainnya menyumbang setidaknya 11% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK) tahunan yang dihasilkan dari aktivitas manusia.
The Association of South East Asian Nations (ASEAN) telah menunjukkan komitmen kuatnya dengan mendukung pembuatan agenda iklim global. Bahkan, pada November tahun lalu, beberapa negara Asia Tenggara telah berpartisipasi dalam Glasgow Leaders’ Declaration baru-baru ini untuk secara kolektif memberikan komitmennya dalam upaya menghentikan dan mengurangi deforestasi serta degradasi lahan sampai dengan tahun 2030.
|Baca juga: Kembangkan Ekonomi Sirkular, STM PPM Berkolaborasi dengan WWF Indonesia
Negara-negara yang berpartisipasi antara lain adalah Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam dan Filipina. Indonesia telah berkomitmen dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk mencapai pengurangan emisi sebesar 29% secara unilateral sampai dengan tahun 2030.
Sektor agrikultur, kehutanan dan penggunaan lahan diperkirakan akan berkontribusi sebanyak 17,34% atau 60% dari total pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Pada tahun 1990–2010 rata-rata kehilangan lahan hutan tercatat mencapai 1,6 juta hektar hutan di kawasan tersebut. Namun, laju deforestasi mencapai titik terendah pada tahun 2020. Meski begitu, negara-negara di kawasan ini perlu mengambil tindakan lebih ambisius untuk mewujudkan komitmennya sesuai dengan deklarasi COP26.
Global Director, Forests, CDP, Thomas Maddox, mengatakan bahwa, hutan memiliki fungsi yang penting dan tidak bisa diremehkan. Miliaran orang bergantung pada hutan dan hutan berperan penting dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Meskipun demikian, deforestasi terus terjadi tanpa terkendali.
Tahun lalu, lebih dari 11 juta hektar hutan tropis hilang. Produksi komoditas pertanian skala besar menjadi pendorong utama dari hilangnya hutan tropis. Dengan bergesernya preferensi masyarakat untuk produk yang etis dan bertanggungjawab, hal ini berpotensi menimbulkan risiko bisnis bagi perusahaan yang tidak mampu menjawab perubahan ini. Perusahaan mulai merespons perubahan ini, tapi aksinya masih jauh dari yang diharapkan.
“Kita membutuhkan lebih banyak investor untuk menuntut penghapusan deforestasi dari portofolio mereka. Kita membutuhkan lebih banyak perusahaan untuk berkomitmen dan mewujudkan rantai pasok yang bebas deforestasi. Dan kita membutuhkan mereka semua untuk bergabung dengan CDP untuk mendorong perubahan dan kemajuan yang terpantau dengan baik,” katanya.
Laporan bertajuk ‘Dari komitmen hingga tindakan nyata: langkah-langkah penting untuk mewujudkan rantai pasok bebas deforestasi’ ini melakukan penilaian atas informasi yang diungkapkan oleh perusahaan terkait apa yang mereka lakukan untuk memitigasi risiko dalam rantai pasoknya.
|Baca juga: KTT G20: Jokowi Dorong Pentingnya Penguatan Arsitektur Kesehatan Global
Penilaian yang dilakukan menggunakan data dari kuesioner hutan CDP di tahun 2021, sesuai Prinsip Inti AFi dan Kerangka Taskforce on Climate-related Financial Disclosures (TCFD). Sebanyak 675 perusahaan yang melakukan pengungkapan ke CDP ini memproduksi atau membeli setidaknya satu dari tujuh komoditas berisiko pada hutan. Perusahaan-perusahaan ini antara lain bergerak di sektor kayu (491 perusahaan), minyak sawit (233), produk ternak (126), kedelai (154), karet (51), kakao (54) dan kopi (27).
Laporan ini juga menyoroti kinerja perusahaan yang memproduksi atau menggunakan komoditas yang berisiko terhadap hutan dari Asia Tenggara (269 dari 675 total perusahaan yang dianalisa dalam laporan ini. Perusahaan-perusahaan ini mengungkapkan bahwa mereka telah mengadopsi sejumlah elemen penting secara lebih luas, jika dibandingkan dengan perusahaan tingkat global.
Laporan ini juga menemukan bahwa secara global, perusahaan mengambil beberapa langkah positif: 76% perusahaan (512) melaporkan memiliki sistem kemamputelusuran setidaknya untuk satu komoditas dan dua pertiga perusahaan (444) melaporkan bahwa mereka melakukan pelibatan dengan pemasok langsung untuk mengelola dan memitigasi risiko deforestasi, sedangkan 80% dari perusahaan dari Asia Tenggara melaporkan aksi tersebut.
Temuan positif lainnya adalah setengah dari semua pedagang, produsen atau peritel (194/390) di tingkat global melaporkan bahwa mereka bekerja dengan pemasok tidak langsung untuk mengelola dan mengurangi risiko deforestasi. Di antara perusahaan di Asia Tenggara, jumlah perusahaan yang melaporkan aksi ini mencapai 56%
Director, Southeast Asia and Oceania, CDP, John Leung, mengatakan bahwa laporan ini menunjukkan bahwa di samping melaksanakan komitmennya, perusahaan masih perlu melakukan implementasi secara lebih luas dan lebih cepat untuk mewujudkan komitmen yang dibuat pada COP26 secara menyeluruh di kawasan Asia Tenggara.
“Kita memahami bahwa keanekaragaman hayati dan upaya melindungi hutan sangat penting untuk memastikan pencapaian masa depan dengan emisi nol bersih (net-zero) dan alam yang positif. Laporan ini menetapkan jalur yang jelas tentang bagaimana perusahaan dapat memastikan pencapaian tujuan tersebut,” katanya.
Akan tetapi, laporan ini juga menemukan bahwa perusahaan-perusahaan secara global tidak memiliki target dan pencapaian yang jelas dalam mendorong sistem perusahaan menuju pembelian komoditas yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Aksi perusahaan saat ini tidak cukup dalam mewujudkan keberlanjutan ini, karena itu perusahaan harus meningkatkan skala (aksi harus diperluas untuk mencakup seluruh bagian perusahaan), ruang lingkup (aksi perusahaan harus dilakukan pada semua komoditas, wilayah, dan ekosistem), dan ketelitian (pelaksanaan harus mendorong dampak yang terukur) yang diperlukan untuk menghentikan deforestasi.
|Baca juga: KIP dan ASPEBINDO Berkolaborasi Amankan Pasokan Batu Bara Dalam Negeri
Sebanyak 36% (245/675) perusahaan mengungkapkan bahwa mereka memiliki kebijakan perusahaan terkait larangan deforestasi atau konversi ekosistem yang dipublikasikan secara umum. Namun, hanya 13% perusahaan yang memiliki komitmen tanpa deforestasi/tanpa konversi yang sejalan dengan praktik terbaik.
Sebanyak 26% perusahaan melaporkan telah memiliki sistem pemantauan untuk mengukur kepatuhan terhadap kebijakan tanpa deforestasi/tanpa –konversi ekosistem.
Sebanyak 38% (257) perusahaan melaporkan tidak memiliki informasi tentang asal dari setidaknya setengah volume komoditas mereka, dan 28% (191) melaporkan tidak memiliki sistem penelusuran atas asal dari setidaknya satu komoditas yang mereka miliki.
Hanya 7% (46) perusahaan melaporkan bahwa setidaknya 90% dari salah satu komoditas mereka disertifikasi oleh skema sertifikasi yang memberikan jaminan tanpa deforestasi/ tanpa konversi.
Hanya 19 perusahaan yang memiliki target untuk mendapatkan 100% komoditas tanpa-deforestasi melalui sertifikasi dan membuat laporan kemajuan menuju target atau pencapaian target.
Hanya seperempat perusahaan yang melaporkan pemberian bantuan teknis atau keuangan kepada pemasok langsung (25%) atau petani kecil (22%), dan hanya sepertiga yang melaporkan bahwa mereka memilki proses untuk mengelola ketidakpatuhan pemasok.
Direktur, Accountability Framework initiative Backbone Team, Jeff Milder, mengatakan bahwa seperti yang disampaikan pada laporan ini, ada pergeseran fokus untuk lebih dari sekedar komitmen menuju aksi sesungguhnya untuk menghilangkan deforestasi akibat kegiatan terkait komoditas.
“Kami melihat bahwa perusahaan masih memiliki banyak kesenjangan dalam hal pelacakan, keterlibatan pemasok, dan kegiatan pemantauan. Namun, kemajuan yang dicapai sejumlah perusahaan terdepan ini menunjukkan bahwa sangat mungkin untuk mengubah kebijakan bisnis agar lebih peduli terhadap risiko deforestasi. Standarnya sejauh ini sudah terlanjur tinggi, tapi dengan meningkatkan skala adopsi dari solusi yang sudah ada, kita bisa mencapai hasil yang jauh lebih besar bahkan hingga mencakup seluruh industri,” jelasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News