Media Asuransi, JAKARTA – Dalam penafsiran perjanjian dikenal istilah doktrin “Contra proferentem” yang dapat diartikan “jika dalam suatu perjanjian terdapat ambiguitas, maka penafsiran perjanjian dilakukan untuk kerugian pihak yang menyusun kontrak.”
Mengutip Biweekly Newsletter The Technical yang diterbitkan oleh Takaful Institute, doktrin Contra Proferentem ini merupakan sebuah doktrin yang telah berlaku secara universal baik dalam sistem hukum “common law” maupun “civil law”.
Aplikasinya dapat dilakukan pada suatu perjanjian yang rancangan isi perjanjiannya hanya dibuat oleh salah satu pihak sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menyetujui isi rancangan tersebut.
Salah satu yang mengadopsi sistem ini adalah di dunia asuransi dimana perusahaan asuransi telah menyiapkan isi polis baik syarat umum maupun syarat khusus yang sudah dibakukan oleh perusahaan asuransi tersebut.
| Baca juga: Pentingnya Pendefinisian Occurrence pada Polis Asuransi
Oleh karena perjanjian asuransi dibuat secara sepihak oleh perusahaan asuransi maka kedudukan peserta atau tertanggung dianggap lemah karena seringkali berada pada pihak yang awam.
Oleh karena itu, perlindungan kepada peserta merupakan hal yang penting untuk diperhatikan manakala terjadi proses sengketa perjanjian asuransi, salah satunya melalui doktrin contra proferentem.
Doktrin ini pada mulanya berasal dari Romawi yang kemudian dituangkan dalam Kode Perancis Pasal 1162. Dalam perkembangannya, doktrin contra proferentem mulai diterapkan saat munculnya kontrak yang dirancang oleh salah satu pihak sementara pihak lain tinggal memilih untuk menerima atau tidak. Kontrak semacam inilah yang disebut sebagai kontrak baku.
Di beberapa negara di Eropa dan Amerika Serikat, doktrin contra proferentem telah menjadi suatu ajaran yang penting dan mendapat tempat dalam memutuskan suatu perkara kasus asuransi terutama dalam kasus hukum dimana pihak tertanggung memiliki posisi tawar yang lemah dibandingkan dengan penanggung.
Meskipun penerapan prinsip ini dikembalikan kepada fungsinya secara tradisional yaitu digunakan sebagai jalan pemecahan terakhir jika semua metode penafsiran perjanjian mengandung ambiguitas tetapi hal ini juga dapat menjadi pendorong bagi pihak perusahaan asuransi atau penanggung untuk ke depannya membuat suatu perjanjian dalam bentuk rancangan polis yang memuat ketentuan dan definisi secara jelas dan tidak mengandung ambiguitas.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News