1
1

Penghasilan Naik Tapi Selalu Merasa Kurang? 4 Hal Ini Penyebabnya

Media Asuransi, JAKARTA – Banyak dari kita yang bekerja lebih keras supaya mendapat promosi jabatan agar penghasilan bisa bertambah. Atau bahkan memutuskan resign dan pindah ke perusahaan baru yang menawarkan gaji lebih tinggi. Semua dilakukan dengan harapan saat pemasukan bertambah maka masalah ekonomi akan teratasi. Namun sayangnya, kenyataan suka berkata lain. Meski sudah berkali-kali naik gaji, banyak orang yang merasa tetap kekurangan untuk memenuhi masalah finansialnya. Ketenangan pun tak kunjung dirasakan.

Anda mungkin sempat dengar kasus seorang pegawai swasta bergaji fantastis, yang nekat melakukan aksi kriminal untuk menutupi utang yang nilainya juga tak kalah fantastis. Kejadian ini jadi contoh nyata bahwa nominal uang, tak menjamin kebahagiaan dan kepuasan hidup seseorang. Perasaan kurang bisa saja membayangi jika kita tak memiliki relasi yang baik dengan uang.

Memahami Relasi Uang dan Emosi

Banyak pakar keuangan hingga psikolog yang menyebutkan bahwa pengelolaan uang memiliki relasi kuat dengan emosi. Seringkali faktor emosi bereaksi lebih dahulu dibandingkan pertimbangan yang logis dan rasional. Tak jarang hal itu pun menimbulkan tindakan impulsif, yang kemudian kita sibuk mencari pembenarannya. Dalam kondisi ini, seolah-olah kita yang dikontrol oleh uang. Padahal, seharusnya kita yang mengontrol keuangan.

Misalnya, saat Anda melihat sebuah produsen gadget merilis produk terbarunya. Jika uang kita terbatas, akan relatif ‘lebih mudah’ menahan keinginan untuk membelinya. Namun, saat ada uang berlebih, godaan untuk membeli langsung muncul.

Mulailah muncul sejumlah alasan yang membuat kita merasa butuh gadget terbaru itu. Misalnya merasa butuh storage lebih besar, layar lebih lebar, dan spesifikasi lain yang hanya bisa dipenuhi oleh gadget terbaru itu. Padahal, sebelum produk itu dirilis, kita tidak ada masalah dengan gadget yang ada.

Jika kita tetap membeli karena ada perasaan butuh terhadap gadget terbaru saat gadget kita tak ada masalah, maka kita seolah telah membuat keputusan yang rasional. Padahal jika dilihat kembali itu adalah keputusan emosional karena mengikuti keinginan sesaat.

Penelitian terkait hubungan emosi dan perilaku keuangan pun telah banyak dilakukan, salah satunya oleh psikolog asal Inggris Adrian Furnham yang menghasilkan teori Money Beliefs. Banyak peneliti lainnya yang akhirnya melanjutkan dan mengembangkan kajian terkait Money Beliefs tersebut.

Pada intinya, money beliefs menggambarkan bagaimana penilaian atau perilaku seseorang terhadap uangnya banyak dipengaruhi oleh emosi yang terbentuk karena kejadian di masa lalu, terutama pengalaman yang traumatik dan memiliki tekanan emosional.

4 Tanda Relasi Tak Sehat dengan Uang

Seseorang yang memiliki relasi tidak sehat dengan uang cenderung mengalami kesulitan dalam mengelola finansialnya. Namun tidak semua orang menyadari hal itu. Berikut beberapa tanda kalau Anda memiliki relasi yang tak sehat dengan uang:

1. Anggaran belanja lebih besar dari penghasilan

Seringkali orang tak sadar terjebak dalam kondisi lebih besar pasak daripada tiang. Mengeluarkan anggaran belanja lebih dari yang sudah dialokasikan atau bahkan melebihi penghasilan yang dimiliki. Godaan tawaran promo atau diskon besar barang yang tak terlalu dibutuhkan seringkali menjadi penyebabnya. Atau adanya kemudahan pembayaran dengan kartu kredit atau fasilitas paylater bisa membuat orang tak sadar sudah membelanjakan uang melebihi pemasukan yang dia punya. Berbagai hal pun bisa menjadi alasan dan membuat seolah keputusan itu rasional. Misalnya membeli untuk menyenangkan anak, atau merasa telah berhemat karena bisa membeli saat harga sedang murah. Jika Anda sering mengalami hal ini, tandanya relasi dengan uang sedang tidak sehat.

2. Membantu orang dengan berhutang

Membantu orang lain yang sedang kesulitan memang hal yang baik. Namun jika Anda harus berhutang untuk membantu orang lain, maka ada relasi yang tak sehat antara Anda dan keuanganmu. Biasanya orang-orang yang termasuk dalam sandwich generation sering menghadapi hal ini. Merasa bertanggung jawab atas orang tua atau keluarga lainnya membuat dia rela berhutang untuk membantu memenuhi kebutuhan finansial orang lain. Padahal, membantu juga perlu disesuaikan dengan kemampuan finansial kita.

3. Menolak membicarakan uang

Menolak membicarakan masalah uang terutama dengan pasangan, bisa terjadi karena beberapa hal misalnya merasa malu, tidak percaya diri, atau merasa ada hal yang harus dirahasiakan. Jika kondisi ini dibiarkan, maka dapat memunculkan masalah-masalah lainnya di kemudian hari, layaknya bom waktu, yang menunggu ledakan terjadi.

4. Merasa bersalah saat berbelanja

Ada orang-orang yang merasa bersalah setelah membelanjakan uangnya, bahkan untuk keperluan pribadinya. Orang-orang seperti ini biasanya memiliki kebiasaan menyimpan uang secara berlebihan. Ada kekhawatiran berlebih jika suatu saat tidak memiliki uang. Mereka pun akan sangat merasa bersalah jika menggunakan uang untuk merawat dirinya. Padahal, memberi anggaran untuk perawatan diri demi kesejahteraan fisik dan mental juga perlu dilakukan.

Sejumlah gejala relasi yang tak sehat dengan uang di atas bisa dipicu oleh beberapa faktor. Misalnya saja budaya lingkungan kita dalam memperlakukan uang, nilai-nilai yang ditanamkan orang tua terkait pengelolaan keuangan, pengalaman hidup susah di masa lalu, kesenjangan ekonomi, hingga rasa ingin diakui oleh lingkungan sekitar. Jika tak diperbaiki, hal-hal tersebut bisa membuat Anda menjadi sangat impulsif dalam menggunakan uang atau justru sangat ketat dalam mengalokasikan anggaran belanja. Aha

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Kenali 6 Kelebihan Membeli Asuransi Online
Next Post Tips Membeli Asuransi Kesehatan Bagi Keluarga Muda

Member Login

or