Media Asuransi, JAKARTA – Seiring meningkatnya usia harapan hidup di Asia, semakin banyak orang yang memprioritaskan tujuan dan kualitas hidup dalam masa hidup yang lebih panjang. Hal ini terungkap dalam Laporan Asia Financial Resilience and Longevity 2025 yang dirilis oleh Manulife Wealth & Asset Management (Manulife WAM).
Laporan tersebut menunjukkan bahwa meskipun masyarakat ingin hidup mandiri dan sehat di masa pensiun, banyak yang masih menghadapi tantangan untuk mencapai ketahanan finansial jangka panjang. Laporan ini berfokus di Hong Kong, Malaysia, Indonesia, dan Filipina, memperkuat komitmen Manulife terhadap persiapan menghadapi masa hidup yang lebih panjang.
Komitmen ini tercermin melalui peluncuran Manulife Longevity Institute, sebuah platform global yang mendorong aksi agar masyarakat dapat hidup lebih lama, lebih sehat, dan lebih aman secara finansial.
|Baca juga: Manulife Rilis Produk PAYDI Baru, Dirancang untuk Hadapi Ketidakpastian Ekonomi!
Head of Asia Retirement Manulife and Chief Executive Officer, Manulife Investment Management Hong Kong, Calvin Chiu, mengatakan bahwa usia panjang mengubah cara masyarakat Asia memandang pensiun. “Kini, pensiun bukan sekadar hidup lebih lama, tetapi hidup lebih baik. Kemandirian finansial, kesehatan, dan kesejahteraan menjadi tolok ukur kesuksesan di era baru ini,” katanya dalam keterangan resmi, Selasa, 18 November 2025.
Mayoritas masyarakat Asia menempatkan kualitas hidup di atas panjang umur itu sendiri. Kurang dari satu diantara 10 responden ingin hidup lebih lama terlepas dari keadaan, sementara setengahnya menginginkan hidup yang bermakna, dan lebih dari sepertiga tidak ingin menjadi beban bagi orang lain.
Saat membayangkan masa tua, mereka berharap tetap mandiri secara finansial, aktif secara fisik dan mental, serta menua dengan anggun sambil mempertahankan standar hidup yang diinginkan.
|Baca juga: Manulife Indonesia Pension Expo 2025
Menurut Chiu, temuan ini menegaskan keinginan kuat untuk kemandirian dan kesejahteraan, di mana kesehatan dan stabilitas finansial dipandang sangat erat terkait. Di keempat negara, tiga perempat responden percaya bahwa kesejahteraan finansial memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka, sementara 85 persen menyatakan bahwa kesejahteraan finansial berdampak pada kondisi mental saat pensiun.
“Orang Asia ingin menikmati usia panjang dengan martabat, tujuan, dan kebebasan. Hal itu membutuhkan perubahan pola pikir, dari sekadar menabung untuk pensiun menjadi merencanakan untuk masa hidup panjang,” tuturnya.
Kesenjangan Kesiapan Finansial di Asia
Meskipun kesadaran meningkat, kurang dari separuh responden yakin memiliki dana yang cukup untuk pensiun dengan nyaman. Tingkat keyakinan bervariasi: hanya 48 persen di Hong Kong, tetapi mencapai 77 persen di Indonesia. Kelompok usia paruh baya (45–54 tahun) adalah yang paling pesimis, menandakan perlunya perencanaan finansial yang lebih proaktif.
Portofolio masyarakat Asia masih didominasi oleh uang tunai, sekitar setengah dari investasi non-properti, mencerminkan sikap hati-hati terhadap risiko. Banyak yang menghindari aset dengan imbal hasil lebih tinggi karena takut rugi dan kurang pengetahuan investasi. Sementara itu, properti yang dulu menjadi pilar utama perencanaan pensiun kini mulai kehilangan dominasi, hanya tiga dari 10 yang masih menganggapnya prioritas utama.
|Baca juga: Survei Manulife: Masyarakat Indonesia Lebih Mengutamakan Kualitas Hidup daripada Usia Panjang
“Menahan terlalu banyak uang tunai dan hanya mengandalkan properti membuat orang rentan terhadap inflasi dan kekurangan pendapatan. Ketahanan finansial harus dibangun melalui diversifikasi aset yang menghasilkan pendapatan dan tahan inflasi, serta dilakukan sedini mungkin,” ujar Chiu.
Laporan ini menemukan hubungan jelas antara nasihat finansial dan rasa percaya diri. Di keempat negara ini, mereka yang menggunakan jasa perencana keuangan jauh lebih yakin akan masa depan. Di Indonesia, misalnya, 89 persen yang memiliki perencana keuangan mengatakan merasa siap secara finansial, dibandingkan 63 persen yang tidak memiliki perencana keuangan. Di Hong Kong, kesenjangan ini lebih besar: 62 persen yang memiliki perencana keuangan merasa percaya diri, sedangkan hanya 29 persen yang tidak.
“Saran dari profesional bisa membuat perbedaan besar. Dengan bimbingan yang tepat, orang dapat beralih dari sekadar menabung menjadi berinvestasi aktif, sehingga memiliki kendali lebih atas pendapatan dan gaya hidup di masa depan,” tambah Chiu.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
