1
1

Living On the Ring of Fire, Allianz Indonesia Serukan Pentingnya Asuransi untuk Lindungi Diri dan Aset

Direktur & Chief Technical Officer Allianz Utama Indonesia Ignatius Hendrawan (atas) bersama Strategic Planning & Risk Management Group Head PT Reasuransi MAIPARK Indonesia Ruben Damanik (bawah). | Foto: Allianz Indonesia

Media Asuransi, JAKARTA – Indonesia tidak hanya berada di wilayah Ring of Fire melainkan di posisi yang merupakan Crown dari Ring of Fire itu sendiri. Kalimat ini tentu bukan hanya ancaman semata tetapi wajib menjadi kesadaran dan perhatian untuk melakukan mitigasi sedini mungkin. Tujuannya jelas yakni melindungi atau memproteksi diri dan harta benda.

Fenomena Indonesia berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik membuat Indonesia sangat rentan terhadap bencana alam seperti gempa, letusan gunung, dan potensi tsunami, meskipun juga kaya akan sumber daya alam dari aktivitas vulkanik.

“Jadi kalau kita punya cincin pernikahan maka Indonesia selayaknya sebagai mahkota dalam cincin pernikahan karena lokasinya,” kata Strategic Planning & Risk Management Group Head MAIPARK Indonesia Ruben Damanik, dalam persentasinya kepada sejumlah awak media, beberapa waktu lalu.

Pernyataannya bukan untuk menakut-nakuti tapi lebih dalam dan bijaksana yakni memberikan kesadaran guna menjaga diri dan harta benda jika memang bencana alam terjadi di Indonesia. Apalagi, ia menambahkan, jika dirinci lebih dalam wilayah Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng besar dunia.

Apabila sejumlah lempeng itu bergerak maka mereka saling berinteraksi dan bertabrakan sehingga interaksi yang dirasakan menjadi bentuk manifestasi gempa bumi. “Tidak banyak wilayah yang berada pada pertemuan empat lempeng seperti ini dan lempengnya adalah lempeng Indo-Australia, kemudian lempeng Eurasia, lempeng Filipina, dan lempeng Pasifik,” kata Ruben.

|Baca juga: OJK Nilai Industri Asuransi Syariah Berpeluang Tumbuh di Tengah Tren Umrah Mandiri

|Baca juga: Prudential Luncurkan PRUPoints untuk Tingkatkan Pengalaman dan Loyalitas Nasabah

Pernyataan Ruben didasari dengan data dan bukti. Dirinya mencatat dari 1963 hingga 2023 terekam banyak sekali kejadian gempa bumi di Indonesia mulai dari ujung timur Sumatra, Aceh, Sumatra Barat, Nias, Padang, Bengkulu, Lampung, hingga ke wilayah selatan, Pulau Jawa.

“Menerus sampai ke wilayah Nusa Tenggara, sampai ke wilayah Ambon, Sulawesi, Halmahera, dan juga wilayah Papua,” jelasnya.

Yang lebih menakutkan, Ruben mengungkapkan, terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang hingga sampai saat ini belum teridentifikasi sebagai wilayah sumber gempa. “Jadi ada wilayah-wilayah yang sampai beberapa tahun ini kita terkaget-kaget karena wilayah tersebut kita belum identifikasi sebagai wilayah yang mempunyai sumber gempa,” ungkapnya.

Sekretaris Kecamatan Tahuna Barat, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Joffre Dalita, mengaku sempat panik saat gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang wilayah perairan Talaud dan Sangihe, Sulawesi Utara, Jumat, 10 Oktober 2025. Tidak hanya Joffre dan staf kantor, sejumlah masyarakat juga panik meski gempa bumi yang terjadi tidak menimbulkan kerusakan.

Joffre menjelaskan gempa yang terjadi pada pukul 08.43 WIB itu cukup kuat dan ia merasakannya kurang lebih satu menit. Bahkan, dirinya sempat melihat beberapa tiang listrik bergoyang dengan keras. Ketakutan kian menjadi-jadi karena lokasi tempat tinggal Joffre berada di pesisir pantai sehingga waspada dan berjaga jika gempa bumi diiringi tsunami.

Dirinya bersyukur saat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengumumkan peringatan dini potensi tsunami dicabut. Tidak hanya Joffre. Seorang warga yang tinggal di Melonguane, Ibu Kota Kabupaten Talaud, Alwina Inang mengaku terkejut saat gempa bumi besar mengguncang pada Jumat pagi.

|Baca juga: Moody’s Pertahankan Prospek Dai-ichi Life di Stabil Berkat Kapitalisasi yang Kuat

|Baca juga: Gara-gara Tumbler Hilang, Karyawan Pialang Asuransi Ini Dipecat Usai Dinilai Cemarkan Nama Perusahaan

Kala itu dirinya bersiap untuk berangkat ke kantor karena ada urusan penting. Namun, tiba-tiba beberapa benda yang ada di rumahnya bergerak dan bunyi. Setelah mengamati situasi dan kondisi ia menyadari telah terjadi gempa bumi. Namun, usai mendapat informasi potensi gempa susulan dan potensi tsunami tidak ada, dirinya langsung melanjutkan aktivitasnya.

Dalam Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia pada 2024 terungkap terdapat 14 segmen megathrust. Jumlah ini berubah dari 13 segmen megathrust dari peta yang diluncurkan pada 2017. Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Sri Widiyantoro menjelaskan ada satu zona yang tidak masuk lagi dalam daftar megathrust dan hanya menjadi thrust.

Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia 2024 ini membawa dua kabar. Kabar baiknya, ia menjelaskan, Indonesia bisa mengidentifikasi sejumlah sesar-sesar di Tanah Air. Pada peta 2024, terdapat 401 sesar yang teridentifikasi. Jumlahnya lebih banyak dari peta 2017 yakni sebanyak 295 sesar.

Sedangkan untuk kabar buruknya, tambahnya, beberapa sesar baru diketahui setelah gempa terjadi, bukan melalui identifikasi jauh-jauh hari sebelum bencana itu terjadi. Dengan kondisi ini, ia menekankan, pentingnya perlu ada update.

Asuransi jadi pilihan melindungi diri dan harta benda

Sejumlah data, fakta, dan contoh kasus yang terjadi itu tentunya wajib menjadi perhatian banyak pihak, baik pemerintah, regulator, industri terkait, maupun masyarakat. Dari sisi perlindungan untuk mengantisipasi risiko seperti gempa tersebut, misalnya, produk asuransi bisa menjadi pilihan untuk melindungi diri dan harta benda.

Senada dengan data dan contoh kasus di atas, berangkat dari ancaman atau potensi risiko tersebut, Ruben melihat pentingnya asuransi properti untuk melindungi aset masyarakat di wilayah Tanah Air yang mempunyai potensi tinggi terjadinya gempa bumi. Apalagi dari sisi kerusakan ekonomi terbilang tinggi, tapi sayangnya belum dibarengi dengan perlindungan asuransi.

“Kita bisa lihat di gempa Aceh, misalnya, protection ratio itu sebetulnya 1,6 persen. Artinya hanya satu persen dari kerugian ekonomi yang diasuransikan. Ini menggambarkan bagaimana penetrasi pelindungan akibat gempa melalui mitigasi asuransi masih rendah,” ucapnya.

Sedangkan dari sisi rumah tinggal, masih kata Ruben, diketahui hanya 0,1 persen rumah tinggal di wilayah Indonesia yang diasuransikan. “Kalau kita lihat kejadian gempa yang terjadi sejak 2004 hingga 2024, kita bisa perhatikan antara 2009 itu ada sekitar 530 ribu rumah yang rusak namun hanya 1.000 yang diasuransikan,” tukasnya.

Menurutnya kondisi itu wajib menjadi keresahan dan sebuah tantangan yang perlu diselesaikan dengan baik. “Ini menjadi sebuah keresahan, sebuah tantangan, bagaimana literasi dari asuransi ini masih sangat rendah, khususnya di rumah tinggal dan juga di UMKM,” tuturnya.

Berdasarkan analisis Badan Pusat Statistik (BPS), banjir menjadi bencana paling sering terjadi dengan lebih dari 1.400 kejadian sepanjang 2024 dan potensi kerugian ekonomi hingga lebih dari Rp500 triliun. Sementara itu, cuaca ekstrem dan kebakaran hutan masing-masing diperkirakan menimbulkan risiko kerugian sekitar Rp700 triliun hingga Rp800 triliun.

Kerugian ekonomi akibat bencana tidak hanya langsung, tetapi juga berdampak secara tidak langsung. Studi BPS menunjukkan setiap satu kejadian bencana diperkirakan menurunkan PDB per kapita sebesar Rp2.386, yang setara dengan potensi penurunan Rp7,43 juta per kapita dalam setahun.

|Baca juga: BCA Digital dan Telkomsel Perkuat Kolaborasi Strategis Jangka Panjang

|Baca juga: OJK Cabut Izin Mariska Aritany Azis sebagai Wakil Perantara Pedagang Efek

Sektor perdagangan dan manufaktur yang merupakan motor penggerak ekonomi mengalami dampak terbesar, dengan kerugian tidak langsung masing-masing mencapai Rp23,96 triliun dan Rp19,51 triliun per tahun.

Director & Chief Technical Officer Allianz Utama Indonesia Ignatius Hendrawan tidak menampik bencana alam termasuk gempa bumi merupakan kejadian-kejadian yang tidak bisa dikendalikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, bukan berarti peristiwa tersebut tidak bisa diminimalisir risikonya.

“Dari sisi asuransi, kita berusaha sebaik mungkin memberikan pemahaman bahwa selain ancaman bencana, kita juga dapat melakukan mitigasi atau melakukan manajemen atau mengelola risiko tersebut. Karena memang hal-hal seperti gempa bumi maupun bencana yang lainnya merupakan hal-hal yang kita tidak bisa kontrol dalam kehidupan kita sehari-hari,” ucapnya.

Ia menjelaskan di Indonesia kurang dari 50 persen masyarakat memiliki literasi asuransi. Artinya hanya setengah dari penduduk di Tanah Air yang mempunyai pemahaman bahwa asuransi adalah sesuatu yang bisa diperoleh atau dibeli untuk memberikan perlindungan terhadap diri dan aset atau kepentingan-kepentingan lain.

“Dari data yang kita lihat, memang premi asuransi umum pada semester I/2025 ada peningkatan 5,8 persen. Di situ terdapat pertumbuhan di asuransi properti atau harta benda delapan persen. Namun demikian, dari 45 persen masyarakat Indonesia yang memiliki literasi asuransi, secara umum, secara keseluruhan hanya 2,72 persen yang memiliki produk asuransi,” jelasnya.

Artinya, tambahnya, dari sekitar 45 persen tersebut kemungkinan hanya kurang dari 10 persen yang membeli produk asuransi. Kendati demikian, ia menyatakan, terdapat satu peluang atau kesempatan bagi masyarakat mempunyai kesadaran atau sebagai pelaku usaha untuk bisa memberikan peningkatan literasi.

“Karena memang dalam konteks asuransi belum banyak masyarakat yang mendapat pemahaman mengenai kegunaan dari asuransi. Kita lihat dari 60 juta pelaku usaha UMKM, kita mencatat 53 persen dari pelaku usaha UMKM tidak memiliki mitigasi asuransi,” jelasnya.

Dirinya menjelaskan 60 juta pelaku UMKM di Indonesia mempunyai kontribusi sekitar 61 persen dari komposisi Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Artinya, jika ada potensi risiko bisnis melanda 60 juta pelaku usaha UMKM itu, lanjutnya, bisa memberikan dampak negatif terhadap perekonomian nasional.

Berangkat dari hal itu, Ignatius menilai, perlu ada upaya untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa asuransi merupakan suatu kebutuhan. Selain itu, lanjutnya, berupaya mengubah persepsi tentang asuransi bukan beban biaya tetapi menjadi suatu rencana guna melakukan mitigasi risiko.

“Sehingga selain memang masyarakat dapat memiliki satu usaha untuk memitigasi risiko, dapat juga dalam konteks tertentu mengurangi beban pemerintah secara umum dalam menghadapi terjadinya bencana,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menambahkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana alam tertinggi, khususnya gempa bumi. Kondisi ini membuat kebutuhan akan asuransi bencana semakin mendesak, dan Allianz Indonesia melihat peluang di lini ini masih sangat besar.

“Gempa bumi termasuk risiko (perils) yang dapat dilindungi melalui asuransi properti dengan perluasan manfaat,” tuturnya, kepada Media Asuransi.

Dari sisi kinerja, lanjutnya, per Agustus 2025, GWP properti Allianz Utama mencapai sekitar Rp234,8 miliar. Tantangan yang dihadapi antara lain masih rendahnya penetrasi asuransi serta perlunya edukasi berkelanjutan agar masyarakat semakin memahami pentingnya proteksi bencana.

“Sebagai jawabannya, Allianz konsisten mendorong literasi publik melalui berbagai kanal, termasuk kegiatan CSR yang menyasar generasi muda sejak dini, dengan tujuan membentuk budaya sadar risiko yang lebih kuat di masyarakat,” ucapnya.

Meski literasi keuangan nasional menunjukkan tren positif, namun kesadaran masyarakat terhadap asuransi masih tertinggal. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 oleh OJK mencatat indeks literasi keuangan meningkat menjadi 66,46 persen dengan inklusi mencapai 80,51 persen.

|Baca juga: Manulife Umumkan 2 Pemimpin Baru Perkuat Segmen Nasabah Tajir di Asia

|Baca juga: Menkeu Purbaya Heran BTN Minta Tambahan Dana SAL, Dirut Nixon Buka Suara!

Akan tetapi, di sektor asuransi, angkanya jauh lebih rendah dengan indeks literasi hanya 45,45 persen dan inklusi baru mencapai 28,50 persen.

Asuransi gempa bumi miliki banyak manfaat

Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menilai produk asuransi gempa bumi di Indonesia memiliki banyak manfaat bagi pemerintah, industri asuransi, maupun masyarakat. Artinya hal ini menjadi penting untuk didorong segera penerapan asuransi gempa bumi secara lebih luas di Tanah Air.

Mengutip data Bank Dunia, Irvan menegaskan, Indonesia berada di peringkat ke-12 dari 35 negara di dunia dengan risiko tinggi terhadap korban jiwa dan kerugian ekonomi akibat berbagai jenis bencana alam.

“Hampir seluruh wilayah di Indonesia terpapar risiko atas lebih dari 10 jenis bencana alam, yakni gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, letusan gunung api, kebakaran, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem, kekeringan, dan likuifaksi,” ungkap Irvan.

Irvan mengingatkan posisi geografi Indonesia yang berada di kawasan Ring of Fire karena letaknya di antara dua benua yang dikelilingi oleh gunung berapi. Oleh karena itu, literasi dan edukasi masyarakat serta pemerintah di bidang kebencanaan menjadi tantangan utama yang harus segera diatasi.

“Tantangannya meningkatkan literasi dan edukasi masyarakat dan pemerintah di bidang kebencanaan, serta mewujudkan asuransi wajib terhadap risiko bencana seperti gempa bumi dan tanah longsor,” ujarnya.

Pengembangan asuransi parametrik

Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendorong percepatan pengembangan asuransi parametrik sebagai instrumen mitigasi risiko bencana alam di Indonesia. Hal itu menjadi penting terutama untuk menghadapi potensi gempa megathrust yang diperkirakan bisa memicu tsunami di kawasan Selat Sunda.

Ketua Umum AAUI Budi Herawan menjelaskan pihaknya melalui MAIPARK sedang mengintensifkan riset dan sosialisasi produk asuransi berbasis parametrik. Upaya ini juga melibatkan kerja sama dengan United Nations Development Programme (UNDP) yang sudah menghasilkan peta jalan implementasi.

Ia menilai diperlukan kerja keras dan tidak hanya dari semua pemangku kepentingan, tetapi juga dari pemerintah agar dapat mendorong masyarakat untuk memenuhi kebutuhan penutupan asuransi gempa bumi yang berbasis parametrik. Sebagai tindak lanjut, AAUI berencana menyerahkan peta jalan itu kepada Kementerian Keuangan sebagai rekomendasi kebijakan.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung penuh pengembangan produk asuransi parametrik bencana yang saat ini tengah dijajaki oleh sejumlah perusahaan asuransi di Indonesia. Produk ini dinilai relevan untuk diterapkan di Indonesia yang memiliki tingkat risiko bencana alam yang tinggi, seperti gempa bumi dan cuaca ekstrem.

Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengungkapkan beberapa perusahaan asuransi telah mulai memasarkan produk asuransi parametrik, meski jumlahnya masih terbatas. Apalagi, minat dari pelaku industri juga terus bertumbuh.

“Saat ini beberapa perusahaan asuransi telah memasarkan asuransi parametrik namun belum banyak. Beberapa perusahaan juga telah menyampaikan ketertarikannya untuk memasarkan asuransi parametrik khususnya terkait bencana,” ujar Ogi.

“Asuransi ini diharapkan dapat meng-cover kerugian atas adanya bencana seperti gempa bumi dan kejadian cathastrope lainnya,” tambah Ogi.

|Baca juga: Premi Asuransi Umum Terus Tumbuh di Kuartal III/2025

|Baca juga: Biaya Haji Turun, OJK: Momentum Emas Bank Syariah Perluas Nasabah!

Asuransi parametrik bekerja dengan menggunakan indikator atau parameter tertentu yang telah disepakati sejak awal, seperti kekuatan gempa atau curah hujan ekstrem. Ketika parameter tersebut terpenuhi, klaim dapat langsung dicairkan tanpa melalui proses verifikasi kerugian konvensional seperti pada asuransi tradisional.

“Asuransi parametrik sangat relevan untuk Indonesia, mengingat tingginya risiko bencana alam. Produk ini dinilai dapat mempercepat proses pencairan klaim karena menggunakan parameter yang telah disepakati di awal, seperti kekuatan gempa atau curah hujan ekstrem, tanpa proses verifikasi kerugian secara konvensional,” jelas Ogi.

Mengoptimalkan kecerdasan artifisial

Kepala BMKG Teuku Faisal Fathani menegaskan komitmennya dalam mengoptimalkan kecerdasan artifisial atau Artificial Intelligence (AI) untuk mempercepat analisis, prediksi, dan respons bencana di Indonesia. Percepatan transformasi digital kini menjadi keharusan, mengingat tantangan iklim dan kebencanaan semakin kompleks.

Ia menambahkan fenomena global seperti El Niño, La Niña, Indian Ocean Dipole, hingga monsun dan angin lokal bergerak dinamis dan melibatkan jutaan data yang harus dibaca setiap detik.

“Tentunya BMKG menerapkan AI, menggunakan machine learning dan deep learning agar dapat membaca semua fenomena itu, kemudian memberikan informasi yang tepat, akurat, dan real-time di lokasi spesifik di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Saat ini BMKG mengoperasikan 191 stasiun serta lebih dari 10.800 Alat Operasional Utama (Aloptama), yang menghasilkan data masif setiap harinya. Teknologi AI memungkinkan BMKG mengolah semua data tersebut menjadi peringatan dini cuaca ekstrem, analisis gempa bumi, hingga prediksi iklim musiman tanpa bergantung pada metode manual yang memakan waktu.

“Tidak mungkin kita menganalisis semuanya secara konvensional. Karena itu, teknologi dipakai agar informasi yang kita hasilkan mudah dipahami masyarakat dan dapat memicu aksi nyata,” pungkas Faisal.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Prudential Luncurkan PRUPoints untuk Tingkatkan Pengalaman dan Loyalitas Nasabah
Next Post Indonesia-Uni Eropa Dorong Pelestarian Lingkungan  dan Kesetaraan Gender

Member Login

or