Media Asuransi, JAKARTA – PT Reasuransi MAIPARK Indonesia (MAIPARK) melihat masih ada sejumlah wilayah di Indonesia yang belum teridentifikasi sebagai sumber gempa. Artinya, risiko yang belum terpetakan ini wajib diantisipasi dan salah satu yang bisa dilakukan adalah melakukan proteksi diri melalui produk asuransi.
Strategic Planning & Risk Management Group Head MAIPARK Indonesia Ruben Damanik mengungkapkan gempa bumi bukan sesuatu yang aneh atau hal baru di Tanah Air. Pasalnya, Indonesia berada di wilayah cincin api dunia. Tidak sampai di situ, lanjutnya, Indonesia juga merupakan crown dari ring of fire.
“Indonesia tidak hanya berada di wilayah ring of fire, tapi wilayah yang merupakan crown dari ring of fire itu sendiri. Jadi kalau kita punya cincin pernikahan maka Indonesia selayaknya sebagai mahkota dalam cincin pernikahan karena lokasinya memang,” kata Ruben, dalam media workshop, di Jakarta, Kamis, 2 Oktober 2025.
|Baca juga: Puan Maharani Minta Maaf, Akui Kinerja DPR Belum Sempurna
|Baca juga: 4 Menu Saham Berpeluang Cuan Hari Ini: BUKA, ICBP, KRAS, dan MINA
Jika dirinci lebih dalam, masih kata Ruben, wilayah Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng besar dunia. Apabila sejumlah lempeng tersebut bergerak maka mereka saling berinteraksi dan bertabrakan sehingga interaksi itu yang dirasakan menjadi bentuk manifestasi gempa bumi.
“Tidak banyak wilayah yang berada pada pertemuan empat lempeng seperti ini dan lempeng-lempengnya adalah lempeng Indo-Australia, kemudian lempeng Eurasia, lempeng Filipina, dan juga lempeng Pasifik,” kata Ruben, dalam media workshop bertajuk ‘ Jaga Aset, Jaga Bisnis: Asuransi Properti di Tengah Risiko‘.
Dirinya mencatat dari 1963 hingga 2023 terekam banyak sekali kejadian gempa di Indonesia mulai dari ujung timur Sumatra, Aceh, Sumatra Barat, Nias, Padang, Bengkulu, Lampung, hingga ke wilayah selatan, Pulau Jawa. “Menerus sampai ke wilayah Nusa Tenggara, sampai ke wilayah Ambon, Sulawesi, Halmahera, dan juga wilayah Papua,” jelasnya.
Namun yang bikin heran, lanjut Ruben, terdapat beberapa wilayah yang hingga sampai saat ini belum teridentifikasi sebagai wilayah sumber gempa. “Jadi ada wilayah-wilayah yang sampai beberapa tahun ini kita terkaget-kaget karena wilayah tersebut kita belum identifikasi sebagai wilayah yang mempunyai sumber gempa,” ungkapnya.
|Baca juga: RUU BUMN Resmi Jadi UU, DPR Tegaskan Larangan Rangkap Jabatan Menteri dan Wamen
Menurutnya para peneliti di Indonesia sudah mempunyai katalog atau peta sumber gempa yang dikompilasi sejak 2010 hingga 2025 di mana secara kuantitatif pada 2010 ada sekitar 85 sumber gempa. Kemudian pada 2017 ada sekitar 295 gempa.
“Dengan adanya temuan dari kejadian gempa yang belum teridentifikasi ini sepertinya akan ada peningkatan sumber gempa di 2025. Pertanyaannya, apakah signifikan pertambahannya? Ini yang sedang kita tunggu dari Pusat Studi Gempa Nasional bagaimana mereka mengidentifikasi sumber gempa berdasarkan dari hasil penelitian beberapa tahun belakangan ini,” ucapnya.
Berangkat dari ancaman atau potensi risiko tersebut, Ruben melihat pentingnya asuransi properti untuk melindungi aset masyarakat di wilayah Tanah Air yang mempunyai potensi tinggi terjadinya gempa bumi. Apalagi dari sisi kerusakan ekonomi terbilang tinggi, tapi sayangnya belum dibarengi dengan perlindungan asuransi.
“Kita bisa lihat di gempa Aceh, misalnya, protection ratio itu sebetulnya 1,6 persen. Artinya hanya satu persen dari kerugian ekonomi yang diasuransikan. Ini menggambarkan bagaimana penetrasi pelindungan akibat gempa melalui mitigasi asuransi masih rendah,” ucapnya.
Sedangkan dari sisi rumah tinggal, masih kata Ruben, diketahui hanya 0,1 persen rumah tinggal di wilayah Indonesia yang diasuransikan. “Kalau kita lihat kejadian gempa yang terjadi sejak 2004 hingga 2024, kita bisa perhatikan antara 2009 itu ada sekitar 530 ribu rumah yang rusak namun hanya 1.000 yang diasuransikan,” tukasnya.
|Baca juga: Tekan Biaya Klaim, AXA Financial Masih Kaji Skema Pembentukan Dewan Penasihat Medis
|Baca juga: BSI (BRIS) Perluas Akses Kesempatan Kerja untuk Lulusan Fresh Graduate Lewat BiBiT Magang
Menurutnya kondisi itu wajib perlu keresahan dan sebuah tantangan yang wajib diselesaikan dengan baik. “Ini menjadi sebuah keresahan, sebuah tantangan, bagaimana literasi dari asuransi ini masih sangat rendah, khususnya di rumah tinggal dan juga di UMKM,” tuturnya.
Pemahaman yang optimal
Director & Chief Technical Officer Allianz Utama Indonesia Ignatius Hendrawan menjelaskan Allianz berusaha memberikan pemahaman yang optimal kepada masyarakat terkait perlindungan diri di tengah geografis Indonesia yang rawan bencana. Hal itu penting dalam rangka melakukan mitigasi risiko.
“Dari sisi asuransi, kita berusaha sebaik mungkin memberikan pemahaman bahwa selain ancaman bencana kita juga dapat melakukan mitigasi atau melakukan manajemen atau mengelola risiko tersebut, karena memang hal-hal seperti gempa bumi maupun bencana yang lainnya merupakan hal-hal yang kita tidak bisa kontrol dalam kehidupan kita sehari-hari,” jelasnya.
Di sisi lain, ia mengatakan, dari 60 juta pelaku usaha UMKM di Indonesia tercatat 53 persen tidak memiliki mitigasi asuransi. Padahal, 60 juta pelaku UMKM itu berkontribusi sebanyak 61 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
Artinya, ia menjelaskan, apabila terdapat satu potensi risiko bisnis yang terjadi atau menimpa pelaku UMKM seperti risiko bencana alam atau gempa bumi maka bisa memberi efek negatif bagi perekonomian. Karena itu, tambahnya, pelaku UMKM perlu diberikan pemahaman bahwa asuransi merupakan suatu kebutuhan.
|Baca juga: Bank Permata ‘Gercep’ Rombak Direksi Usai Ditinggal Abdy Dharma, Siapa Penggantinya?
|Baca juga: Direktur Keuangan UOB Indonesia Mengundurkan Diri, Begini Penjelasan Manajemen
Selain itu, lanjutnya, juga perlu diberikan pemahaman untuk mengganti persepsi bahwa asuransi yang awalnya adalah sebuah beban biaya menjadi suatu rencana guna melakukan mitigasi risiko.”Selain masyarakat dapat memitigasi risiko dapat juga dalam konteks tertentu mengurangi beban pemerintah secara umum dalam menghadapi terjadinya bencana,” ucapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan, literasi asuransi masyarakat Indonesia tercatat kurang dari 50 persen. Artinya hanya setengah dari penduduk Indonesia yang memiliki pemahaman bahwa asuransi adalah sesuatu yang bisa diperoleh atau dibeli untuk memberikan perlindungan terhadap aset atau kepentingan-kepentingan lain.
Jika ditelisik lebih dalam, tambahnya, premi asuransi umum pada semester I/2025 tercatat meningkat sebanyak 5,8 persen. Kemudian terlihat ada pertumbuhan di asuransi properti atau harta benda delapan persen. Namun sayangnya, dari 45 persen masyarakat Indonesia yang memiliki literasi asuransi, secara umum hanya 2,72 persen yang memiliki produk asuransi.
“Jadi memang terdapat satu peluang atau suatu kesempatan buat masyarakat untuk bisa memiliki kesadaran atau kita sebagai pelaku usaha bisa memberikan peningkatan literasi karena memang dalam konteks asuransi belum banyak masyarakat yang mendapat pemahaman mengenai kegunaan dari asuransi,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News