1
1

Perlu Kolaborasi Berbagai Pihak untuk Mitigasi Pembiayaan Risiko Bencana  

Media Asuransi, JAKARTA – Mitigasi pembiayaan risiko bencana di Indonesia perlu kolaboarasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Direktur Utama PT Reasuransi Nasional Indonesia (Nasional Re), Achmad Sudiyar Dalimunthe, mengatakan bahwa wilayah geografis Indonesia sebagai negara kepulauan di khatulistiwa yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, mengakibatkan teritorial yang sangat rawan terhadap bencana alam.

BNPB menyebutkan dari seluruh kabupaten/kota di Indonesia, 386 daerah berada di zona bahaya sedang-tinggi gempa bumi, 233 daerah rawan tsunami, 75 daerah terancam erupsi gunung api, 315 daerah bahaya sedang-tinggi banjir, serta 274 daerah bahaya sedang-tinggi bencana longsor.

Kementerian Keuangan mencatat, rata-rata kerugian ekonomis tahunan akibat bencana alam lebih dari Rp22 triliun, yang merupakan beban masyarakat dan bantuan pemerintah.

“Mitigasi pembiayaan risiko bencana di Indonesia perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat dan sektor swsata,” katanya kepada Media Asuransi, belum lama ini.

|Baca juga: Jasindo Siap Bantu Masyarakat Mitigasi Risiko Bencana Alam

Menurutnya, apa yang telah dilakukan pemerintah selama ini sudah cukup baik, tetapi tetap ada keterbatasan kapasitas pemerintah untuk menanggulangi seluruh bencana. BKF Kementerian menginformasikan bahwa ada gap sekitar 78 persen pembiayaan mitigasi risiko bencana yang dapat ditanggulangi oleh APBN. 

“Selain itu juga ada kendala birokrasi pemerintahan yang panjang. Untuk itu peran sektor swasta dapat dimanfaatkan dan lebih efisien, sehingga akan terjadi keseimbangan antara peran pemerintah dan kontribusi swasta,” jelasnya.

Pria yang akrab disapa Dody ini, mengatakan bahwa salah satu model pembiayaan risiko bencana yang dapat dipergunakan adalah dengan asuransi. Pemerintah cukup menganggarkan biaya tetap setiap tahun melalui APBN, jika terjadi bencana maka perusahaan asuransi akan memberikan pembiayaan dampak bencana tersebut sesuai kondisi polis asuransi. 

Dody menjelaskan, latar belakang lahirnya Asuransi Barang Milik Negara (ABMN) adalah nilai BMN terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dan pembiayaannya menjadi beban APBN, termasuk jika terjadi bencana. 

Dalam peta jalan dan strategi untuk mengimplementasikan DRFI secara nasional, maka Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 247/PMK.06/2016 yang kemudian direvisi dengan PMK nomor 97/PMK.06/2019 merupakan petunjuk teknis dalam pelaksanaan asuransi barang milik negara dengan tertanggung kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga negara yang bertindak sebagai Pengelola BMN, dan Pengguna BMN atau Kuasa Pengguna BMN. 

“Setidaknya dengan skema ABMN ini ada kepastian biaya dalam APBN, dan juga kelangsungan kegiatan pemerintahan meskipun terjadi bencana,” ujar Dody.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Peringatan Hari Ulang Tahun BCA ke-65
Next Post Sequis Meluncurkan SOFI, Asuransi Penyakit Kritis

Member Login

or