Media Asuransi, JAKARTA – Dalam implementasi International Financial Reporting Standards (IFRS-17) di Indonesia masih dalam tahap persiapan yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan asuransi, broker JB Boda Viva Indonesia telah melakukan upaya dalam penerapan IFRS dengan melakukan pelatihan.
CEO JB Boda Viva Indonesia, Ricky Natapradja, mengatakan bahwa penerapan IFRS-17 sangat baik. Pembukuan sebuah perusahaan menjadi transparan, jelas dan membuat pembukuan premi ataupun brokerage menjadi terelokasi dengan baik. “Ini salah satu proses yang bagus, pembukuan ini akan semakin transparans, jelas. Pembukuan premi ataupun brokerage juga harus teralokasi dengan baik. Kadang baik pialang atau asuransi, sekali dapat account ‘gede’ digebug sekaligus di satu tahun pertama, tapi tidak ada cadangan atau result untuk atau operasional di tahun-tahun berikutnya,” katanya.
|Baca juga: OJK Minta Parallel Run Implementasi IFRS 17 Dimulai pada Kuartal I/2024
Ricky menambahkan bahwa progress pada Boda Viva sendiri sudah mencapai 50 persen. Perseroan mengikuti pelatihan yang diadakan oleh beberapa lembaga.”Kita mengikuti seminar yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga tentang alokasi ini (Pelatihan IFRS-17),” ujarnya.
Selain itu, Ricky juga turut menanggapi atas peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dalam menaikkan modal minimum perusahaan asuransi. “Mereka yang GWP masih di bawah Rp200 miliar. Nah perusahaan-perusahaan asuransi ini yang menurut saya di bawah Rp200 miliar dia akan struggle, dia akan find it tough untuk secure bahkan untuk mendapatkan modal untuk memenuhi persyaratan dari OJK. Nah perusahaaan-perusahaan yang besar yang mungkin sudah punya pendapatan Rp300 miliar hingga Rp500 miliar atau lebih dalam setahun, mereka bisa survive karena punya buku yang sehat, karena berarti ada kombinasi dengan retail dan corporate bussines,” katanya.
Ricky mengatakan bahwa ini adalah seleksi alam bagi perusahaan asuransi, sebab para perusahaan yang tidak mampu memenuhi modal minimum akan dipaksa untuk melakukan merger atau terpaksa ditutup. “Kalau nggak ada yang mau ambil bisnisnya, mau nggak mau… mungkin riset yang masih kecil-kecil banyak sih yang bisa kita lihat dari data statistiknya itu yang di bawah Rp200 miliar itu banyak, dan mereka sorry to say mereka akan tough tuf karena mereka kalau nggak bisa cari atau dapat investor, akan susah,” pungkas Ricky.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News