Media Asuransi, JAKARTA – Industri reasuransi nasional dinilai masih menghadapi tantangan serius, salah satunya terkait derasnya aliran premi asuransi yang keluar ke perusahaan reasuradur asing. Kondisi ini berdampak langsung terhadap membengkaknya defisit neraca transaksi berjalan sektor jasa keuangan.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP) OJK Ogi Prastomiyono menyoroti hal tersebut dalam Indonesia Re International Conference (IIC) 2025. Ia menekankan dominasi reasuradur asing telah menjadi penyebab utama terganggunya kinerja transaksi keuangan nasional.
|Baca juga: Wamen Investasi Klaim RI Bakal Jadi Intermediary Country Akibat Tarif AS, Bakal Cuan?
|Baca juga: OJK Tegaskan Skema Risk Sharing 75:25 pada Penjaminan Kredit untuk Jaga Prinsip Kehati-hatian
“Penutupan asuransi keluar dari Indonesia cukup besar (aliran premi asuransi yang ditempatkan ke reasuradur luar negeri), sehingga defisit current account kita itu cukup besar dan meningkat terus,” kata Ogi, pada Indonesia Re International Conference 2025, di Jakarta, dikutip Kamis, 24 Juli 2025.
Data menunjukkan, sepanjang 2024, sekitar 40,20 persen premi reasuransi ditransfer ke luar negeri, termasuk premi dari asuransi langsung yang diberikan kepada reasuradur asing. Situasi tersebut menyebabkan defisit neraca transaksi sektor reasuransi mencapai Rp12,10 triliun, atau meningkat dari tahun sebelumnya.
Fenomena ini mengindikasikan industri reasuransi dalam negeri belum kuat dalam menangani pertanggungan risiko yang berskala besar dan kompleks. Menyikapi hal ini, OJK menetapkan tiga strategi utama untuk memperkuat daya saing reasuransi nasional, yaitu peningkatan kapabilitas domestik, menarik premi luar negeri, dan menahan laju premi ke luar negeri.
Penguatan industri ini juga mencakup aspek permodalan. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan tetap membuka ruang kerja sama dengan reasuradur global, namun tanpa mengorbankan peran perusahaan dalam negeri.
Sebagai bagian dari proses transformasi yang tertuang dalam POJK No 23 Tahun 2023, OJK mendorong perusahaan untuk memenuhi ketentuan minimum ekuitas secara bertahap.
|Baca juga: Laba Nasional Re Melonjak 450,05% per Juni 2025
|Baca juga: Aset Penjaminan Mulai Bangkit, tapi Pendapatan Masih Seret! Ini Kata OJK
Per Mei 2025, sebanyak 88,89 persen perusahaan reasuransi telah memenuhi tahap pertama yakni ekuitas minimum sebesar Rp500 miliar untuk reasuransi konvensional dan Rp200 miliar untuk syariah, yang wajib dipenuhi paling lambat tahun 2026.
Memasuki tahap kedua pada 2028, baru 44,44 persen perusahaan yang telah masuk kategori KPPE 1 dengan ekuitas minimum Rp1 triliun (konvensional) dan Rp400 miliar (syariah). Sementara itu, sebanyak 11,11 persen perusahaan reasuransi sudah memenuhi standar KPPE 2 dengan syarat ekuitas Rp2 triliun untuk konvensional dan Rp1 triliun untuk syariah.
“Kalau kita lihat perusahaan asuransi di negara-negara lain, modal disetornya memang rendah, tapi ekuitasnya sudah sangat besar, jauh lebih besar dari perusahaan asuransi Indonesia,” kata Ogi.
“Itu lantaran memang pembukaan perusahaan asuransi baru relatif jarang alias tidak ada, tapi yang sudah ada bertumbuh dengan besar. Karena itu, kita bakal meningkatkan (syarat permodalan) itu secara bertahap,” tambah Ogi.
Ia menambahkan sebagian besar perusahaan telah menyampaikan rencana untuk memenuhi target permodalan sesuai tahapan. OJK pun memastikan seluruh proses tersebut berjalan sesuai jadwal dan terus diawasi ketat menjelang tenggat tahap pertama pada 2026.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News