Media Asuransi, JAKARTA – Keputusan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk mengubah skema co-payment menjadi risk sharing serta menurunkan beban peserta dari 10 persen menjadi lima persen menuai tanggapan skeptis termasuk dari pengamat asuransi.
Pengamat Asuransi Irvan Rahardjo menilai perubahan istilah menjadi risk sharing tidak akan bermakna jika beban konsumen pada akhirnya justru semakin bertambah. “Sebaiknya co-payment tetap saja 10 persen dengan syarat tidak ada kenaikan premi,” tegas Irvan, kepada Media Asuransi, dikutip Rabu, 24 September 2025.
|Baca juga: GoTo Dapat Fasilitas Pinjaman Berjangka Rp4,65 Triliun dari DBS dan UOB
|Baca juga: Pergantian Ketua LPS Diharap Berjalan Mulus di Tengah Mandat Baru
Irvan menambahkan hal tersebut dikarenakan skema co-payment yang bersifat variabel berarti hanya dikenakan saat terjadi klaim. Sedangkan kenaikan premi bersifat tetap baik dalam kondisi ada klaim maupun tidak.
“Sebaiknya, pengecualian co-payment hanya bila terjadi kecelakaan namun tidak berlaku bagi penyakit kritis. Karena penyakit kritis paling besar biayanya dan menjadi beban paling besar bagi perusahaan asuransi,” kata Irvan.
|Baca juga: Dapat Dana Jumbo Rp200 Triliun, LPS Wanti-wanti Bank Tetap Jaga Kualitas Penyaluran Kredit
|Baca juga: Suku Bunga Simpanan Bank Masih Tertahan Meski LPS Pangkas TBP 3 Kali, Ada Apa?
Pandangan ini menyoroti kekhawatiran bahwa kebijakan baru tersebut alih-alih meringankan justru bisa menambah beban finansial bagi peserta asuransi di tengah kenaikan premi yang terus terjadi.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News