Media Asuransi, JAKARTA – Ketua Bidang Literasi dan Pelindungan Konsumen Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Freddy Thamrin menilai peluang pertumbuhan bisnis asuransi di Tanah Air masih sangat besar. Besarnya populasi penduduk dan perekonomian yang terus tumbuh membuat kebutuhan asuransi akan terus meningkat.
Hal ini didorong dengan tren akuisisi dan merger di industri asuransi yang berpeluang terus berlanjut, baik karena tuntutan regulasi maupun strategi perusahaan untuk semakin memperkuat bisnisnya. Hal ini diyakini akan semakin memperkuat industri asuransi nasional.
Dengan kondisi itu, Freddy menilai, perusahaan-perusahaan asuransi akan semakin memperkuat fundamental bisnisnya agar bisa menjangkau dan melindungi sebanyak mungkin masyarakat. Salah satu strategi penguatan bisnis itu adalah melalui akuisisi maupun merger.
Freddy meyakini tren akuisisi maupun merger di industri asuransi jiwa akan terus berlanjut. Aksi korporasi itu menjadi upaya penyehatan perusahaan, juga langkah untuk mencapai ketentuan permodalan.
|Baca juga: Pengurus DAI 2024-2027 Resmi Terbentuk, Siap Pulihkan Kepercayaan!
“Pasti kalau ada akuisisi, arahnya ingin lebih besar. Akuisisi itu pasti ada usaha-usaha untuk meningkatkan dan melihat faktor-faktor yang memungkinkan untuk lebih dikembangkan,” ujar Freddy, dalam keterangan resminya, Rabu, 17 Juli 2024.
Akhir tahun lalu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan Peraturan OJK Nomor 23 Tahun 2023 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah. Ditetapkan modal disetor bagi perusahaan asuransi yang baru berdiri minimal Rp1 triliun dan reasuransi minimal Rp2 triliun.
Perusahaan asuransi yang sudah berdiri juga harus meningkatkan modal minimumnya secara bertahap untuk memenuhi aturan paling lambat 31 Desember 2026, yakni asuransi minimal Rp250 miliar, reasuransi Rp500 miliar, asuransi syariah minimal Rp100 miliar, dan reasuransi syariah minimal Rp200 miliar.
POJK 23/2023 juga mengatur mengelompokkan kelas perusahaan asuransi berdasarkan modalnya, yakni Kelompok Perusahaan Perasuransian berdasarkan Ekuitas (KPPE) I dan II dengan batas waktu 31 Desember 2028.
Di KPPE 1, perusahaan asuransi harus memiliki modal minimum Rp500 miliar dan asuransi syariah minimum Rp200 miliar. Di KPPE II, perusahaan asuransi harus memiliki modal minimum Rp1 triliun dan asuransi syariah minimum Rp500 miliar.
Perusahaan yang masuk dalam KPPE I akan menawarkan produk asuransi yang sederhana, sedangkan perusahaan di KPPE II dapat menyelenggarakan seluruh kegiatan usaha asuransi, seperti menawarkan produk asuransi yang dikaitkan dengan investasi (PAYDI) atau unit linked.
Akuisisi maupun merger dapat menjadi salah satu cara untuk memenuhi ketentuan permodalan itu, maupun cara perusahaan untuk bersaing dengan kompetitornya yang mampu meningkatkan kapasitas permodalan.
|Baca juga: Kapler Marpaung: Akuisisi Mandiri Inhealth Bakal Perbesar Skala Bisnis IFG Life
Salah satu aksi akuisisi yang menjadi perhatian di industri asuransi saat ini adalah yang dilakukan PT Asuransi Jiwa IFG (IFG Life) yang mengambil alih mayoritas saham PT Asuransi Jiwa Inhealth Indonesia (Mandiri Inhealth).
Sebelumnya, saham Mandiri Inhealth masih dimiliki oleh tiga pihak, yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk sebanyak 80 persen, PT Kimia Farma Tbk sebanyak 10 persen, dan Indonesia Financial Group (IFG) sebanyak 10 persen.
Setelah akuisisi, IFG Life memiliki 80 persen saham Mandiri Inhealth dan menjadi pemegang saham pengendali. Adapun 20 persen sisanya masih dimiliki oleh Bank Mandiri. Diyakini akuisisi ini merupakan aksi korporasi untuk memperkuat kapabilitas bisnis IFG Life.
Freddy menilai perusahaan-perusahaan asuransi akan melakukan penilaian dengan cermat sebelum melakukan akuisisi atau merger dengan perusahaan lain. Yang jelas, akuisisi akan terus berlanjut karena prospek industri asuransi di Indonesia yang sangat baik.
Optimisme Freddy itu tercermin dari catatan kinerja industri asuransi jiwa pada awal tahun ini. OJK mencatat premi industri asuransi jiwa pada Januari 2024 mencapai Rp17,3 triliun atau tumbuh 8,2 persen secara year on year (yoy) dari Januari 2023 senilai Rp16,02 triliun.
Industri asuransi jiwa nasional juga mencatatkan Risk-Based Capital (RBC) 447,68 persen. OJK menetapkan batas minimal RBC asuransi adalah 120 persen, artinya kondisi industri asuransi jiwa sangat sehat dan dapat memproteksi masyarakat dengan optimal.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News