Media Asuransi, JAKARTA – CEO Prooftec Australia, Danny Cohen, mengatakan bahwa bagaimana saat ini teknologi berkembang begitu pesat, tentunya hal ini menjadi peluang luar biasa bagi sektor asuransi untuk memanfaatkan teknologi guna mendorong hasil positif di banyak bagian bisnis perusahaan.
“Yang menarik dari ini teknologi tidak hanya akan meningkat tetapi kecepatan pengembangan dan penerapannya akan mengubah permainan,” kata Danny saat menjadi pembicara dalam acara Seminar Internasional Artificial Intelligence and Technological Innovation Advancing Insurance yang diadakan oleh Asosiasi Ahli Pialang Asuransi dan Reasuransi Indonesia (APARI) bersama ProofTec dan PT Essensi Bisnis Solusi (EBS) di Jakarta, Kamis, 23 Februari 2023.
Danny mengatakan bahwa banyak hal yang dapat ProofTec berikan untuk kemajuan industri asuransi. Pertama, meningkatkan visibilitas atas kondisi kendaraan yang akan diasuransikan. Kedua, meminimalkan dan mengurangi potensi penipuan.
Ketiga, pengurangan ukuran klaim rata-rata. Keempat, pengurangan rata-rata waktu siklus proses klaim. Kelima, pengurangan biaya klaim yang signifikan. Keenam peningkatan otomatisasi persetujuan klaim dan Ketujuh, peningkatan efisiensi penilai.
|Baca juga: ProofTec dan EBS Jalin Kerja Sama dalam Mitra Distribusi Komersial Ekslusif
Sebagai informasi, ProofTec merupakan perusahaan terkemuka dari Australia yang bergerak dalam Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk mendeteksi kerusakan secara visual. ProofTec melakukan kerja sama dengan PT Essensi Bisnis Solusi (EBS) dalam kemitraan distribusi komersial ekslusif. Berdasar perjanjian tersebut, EBS akan memiliki hak distribusi eksklusif untuk solusi ProofTec di Indonesia.
Dalam kesempatan yang sama, pembicara kedua yakni Country Manager Vantage Point Security, Faisal Yahya, mengatakan bahwa perkembangan tren keamanan siber pada tahun 2022 memiliki tingkat tertinggi dalam cyber attack atau serangan dalam dunia maya untuk data breach mulai dari institusi perusahaan hingga perorangan.
Faisal menambahkan, melalui laporan Year 2022 Data Breach Highlights, tercatat biaya penanganan pelanggaran data secara global tumbuh dari US$0,11 juta menjadi US$4,35 juta pada tahun 2022. Hal ini menjadi rekor tertinggi tercatat sejak tahun 2016 dengan total 2.200-102.000 kasus yang terekam.
Dampak pandemi yang menyebabkan pegawai-pegawai harus melakukan pekerjaan dari rumah atau pun dari mana saja, menjadi salah satu faktor penyebab tingkat serangan siber semakin meningkat.
“Pada saat trending Covid-19 mulai muncul, pada tahun 2020 trending serangan meningkat. Hal ini terjadi karena ada kondisi prematur yakni perusahaan terpaksa memindahkan asetnya dari on prime ke cloud, dan mereka (perusahaan) belum siap secara mental dan sistem,” jelasnya.
Faisal mengatakan bahwa berbeda dengan satu atau dua dekade yang lalu, di mana serangan siber hanya mengarah pada downing system atau pelemahan sistem suatu perusahaan, namun saat ini serangan siber lebih ganas, karena seorang hacker mengincar pada digital aset suatu perusahaan untuk dicuri.
Di sisi lain, attack vector dinilai menjadi ranah penyebab dari sisi keamanan siber. Ada faktor internal track yang datang dari lingkungan perusahaan seperti karyawan dan external track yang berasal dari luar lingkungan perusahaan.
Sedang yang menjadi faktor lain dari serangan siber adalah pengetahuan manusia mengenai keamanan siber yang tidak berkembang, mengikuti kemajuan tantangan serangan siber yang semakin marak dan kian canggih.
Lebih lanjut Faisal mengatakan jika faktor terlambatnya kesadaran akan terjadinya risiko siber menjadi penyebab jumlah kasus bocornya data perusahaan kian meningkat. “Secara statistik, pada satu Januari, mereka (perusahaan) terkena serangan data breach, namun mereka baru sadarnya Oktober, itu rata-rata,” ujarnya. “Jadi kalau bicara dari sisi insurance, bisa diterjemahkan bahwa awarness dari internal terhadap serangan tersebut perlu ditingkatkan lagi,” tambahnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News