Data menunjukkan bahwa kendaraan listrik mulai digandrungi oleh masyarakat Indonesia. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil listrik di Indonesia berdasarkan data wholesales (distribusi pabrik ke dealer) mengukir rekor baru pada September 2022 yaitu mencapai 3.781 unit atau naik hampir 4 kali lipat dari bulan sebelumnya yang hanya 1.021 unit.
Pada periode tersebut, mobil listrik pabrikan China yaitu Wuling Air ev menjadi kontributor terbesar dengan penjualan, mencapai 1.887 unit. Sementara itu, mobil pabrikan Korea yaitu Hyundai Ioniq 5 hanya mencatatkan penjualan 261 unit.
Di sisi lain, berdasar data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) populasi motor listrik sampai dengan Juli 2022 mencapai 19.024 unit atau hanya 0,34 persen dari rata-rata penjualan motor dalam 5 tahun terakhir. Kecilnya penjualan motor listrik tersebut disinyalir karena masalah insentif dari pemerintah.
Secara animo, survei yang dilakukan oleh CNNIndonesia.com menunjukkan lebih dari separuh responden berminat untuk membeli kendaraan listrik baik mobil atau sepeda motor. Dari total 1.127 responden, sebanyak 608 responden berminat membeli mobil listrik. Sementara itu dari 1.629 responden, sebanyak 974 responden berminat untuk membeli sepeda motor listrik. Menurut McKinsey, pada tahun 2030 pangsa pasar kendaraan listrik secara global diperkirakan berkisar 10 persen hingga 50 persen dari penjualan kendaraan baru.
Tren peralihan penggunaan kendaraan bermotor dari yang berbasis bahan bakar minyak (BBM) ke kendaraan listrik yang terus meningkat tersebut tentu harus mendapat perhatian sekaligus dukungan dari industri asuransi. Seperti dalam penggunaan kendaraan bermotor berbasis BBM, penggunaan kendaraan listrik juga memiliki risiko-risiko yang perlu mendapatkan coverage dari asuransi.
Selain menjadi peluang bisnis baru bagi perusahaan asuransi, switching penggunaan kendaraan listrik yang kian massif ini tentu akan berpotensi menggerus eksisting bisnis asuransi kendaraan bermotor konvensional seiring menurunnya penggunaan kendaraan bermotor konvensional. Oleh karena itu, pelaku asuransi umum harus segera merespons perubahan lanskap kendaraan bermotor ini.
Secara global, banyak perusahaan asuransi yang sudah meng-cover risiko kendaraan listrik (electric vehicle/EV). Bahkan, menurut perkiraan ResearchAndMarkets.com, industri asuransi EV global akan meningkat dari US$49 miliar pada tahun 2020 menjadi lebih dari US$507 miliar pada tahun 2023 karena EV dinilai kian relevan
bagi konsumen, produsen, dan pemerintah.
Senada, perusahaan data dan analitik terkemuka GlobalData juga memperkirakan pasar asuransi EV global akan tumbuh pada CAGR lebih dari 19 persen selama periode 2020-2023. Menurut GlobalData, tren utama yang akan membentuk EV di pasar asuransi dalam beberapa bulan mendatang adalah tren teknologi, tren ekonomi makro, dan tren regulasi. Sejumlah perusahaan asuransi besar yang telah mengeluarkan produk asuransi EV antara lain Allianz, Allstate, Aviva, Axa, Direct Line, dan Ping An Insurance.
Sementara itu, The Business Research Company memperkirakan pasar asuransi EV global akan tumbuh dari US$43,31 miliar pada tahun 2021 menjadi US$54,25 miliar pada tahun 2022 dengan tingkat pertumbuhan CAGR sebesar 25,3 persen. Selanjutnya, pangsa pasar asuransi EV global diperkirakan tumbuh menjadi US$132,02 miliar pada tahun 2026 dengan CAGR sebesar 24,9 persen.
Di Indonesia, sejumlah perusahaan asuransi pun mulai menyediakan produk asuransi EV di antaranya Tugu Insurance, MNC Insurance, dan Asuransi MSIG. Menurut Wakil Presiden Direktur PT Asuransi MSIG Indonesia, Bernard P Wanandi, terdapat sejumlah tantangan industri asuransi untuk memasarkan asuransi kendaraan listrik yaitu belum ada peraturan khusus mengenai asuransi kendaraan listrik, karena PSAKBI (Polis Standar Asransi Kendaraan Bermotor Indonesia) masih berdasarkan produk tradisional, jumlah kendaraan listrik dan pengalaman atas asuransi kendaraan listrik masih rendah dan dalam tahap pembelajaran, serta industri kendaraan listrik sendiri masih terus berkembang dan tumbuh sehingga belum mencapai economic of scale.
Selain itu, banyak pertanyaan yang muncul seputar asuransi EV ini yaitu bagaimana valuasi baterainya? Apakah peralatan isi ulang juga dijamin asuransi? Apakah risiko terkait kelistrikan karena kebakaran atau banjir dikecualikan? Bagaimana menilai kendaraan listrik bekas? Bagaimana dengan risiko siber, apakah termasuk dicover atau membeli asuransi siber sendiri? Bagaimana dengan risiko TPL? Apakah jaminannya akan lebih tinggi dibandingkan dengan konvensional? Dan dari sisi servis apakah ada bantuan kedaruratan?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut, mengindikasikan bahwa industri asuransi belum benar-benar siap untuk memproteksi penggunaan kendaraan listrik. Oleh karena itu, stakeholders industri asuransi umum nasional harus segera menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut agar industri asuransi nasional memiliki kesiapan penuh dalam merespons perubahan lanskap kendaraan bermotor yang berlangsung cepat.
Terlebih, dukungan terhadap penggunaan kendaraan listrik ini sejalan dengan tuntutan tren industri asuransi global yang berkomitmen mencapai emisi nol bersih (net zero carbon). Pemerintah Indonesia telah mencanangkan target emisi karbon 29 persen pada 2030 dan net zero carbon pada tahun 2060.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News