1

5 Tips dari Bank DBS Indonesia bagi Pemilik Bisnis Hadapi Dinamika Ekonomi dan Politik 2025

Gedung-gedung bertingkat berdiri megah di antara rumah-rumah penduduk di Jakarta. | Foto: Media Asuransi/Areif Wahyudi

Media Asuransi, JAKARTA – Menjelang akhir 2025, situasi ekonomi dan politik Indonesia tengah memasuki fase penuh dinamika, mulai dari demonstrasi besar di berbagai daerah, reshuffle kabinet oleh pemerintah, hingga penurunan suku bunga BI.

Rangkaian peristiwa ini memicu gejolak di pasar keuangan, memengaruhi sentimen investor, dan meningkatkan ketidakpastian bagi pelaku usaha di berbagai sektor.

Di tengah situasi ini, pelaku bisnis dituntut untuk tetap tenang, adaptif, dan sigap mengambil langkah. Gejolak pasar memang tidak bisa dihindari, tapi peluang baru akan selalu muncul bagi yang jeli melihat kesempatan.

|Baca juga: Bank DBS Indonesia-Mirae Asset Sekuritas Luncurkan Online Onboarding RDN

“Melihat dinamika bisnis yang semakin kompleks, yang membedakan bisnis sukses bukan sekadar bertahan, tapi kemampuan membaca tren lebih cepat daripada kompetitor. Sebagai mitra tepercaya untuk mengelola kekayaan dan bisnis, Bank DBS Indonesia hadir untuk membantu pelaku usaha mengidentifikasi peluang baru, misalnya perubahan perilaku konsumen atau sektor yang sedang tumbuh, sehingga strategi bisnis bisa lebih tepat sasaran,” ujar Consumer Banking Director Bank DBS Indonesia Melfrida Gultom dalam keterangannya, Jumat, 19 September 2025.

Nah, biar bisnis Anda tetap bertahan sekaligus berkembang, yuk simak beberapa tips berikut yang bisa jadi inspirasi langkah strategis ke depan.

  1. Jaga Likuiditas & Biaya Keuangan

Data dari DBS Group Research menunjukkan bahwa pada paruh pertama 2025, ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 5 persen year-on-year (yoy), didorong oleh sektor jasa bernilai tinggi, impor barang modal, investasi, serta konsumsi saat hari raya.

Ekonomi 2025 diproyeksikan tumbuh 4,9 persen, sementara 2026 diprediksi stabil di kisaran 4,9 hingga 5,0 persen. Meski demikian, risiko perlambatan tetap ada, terutama jika terjadi gejolak global, pelemahan belanja pemerintah, atau koreksi harga komoditas.

|Baca juga: Bank DBS Indonesia Komitmen Dorong Inklusi Pendidikan di Momen Kemerdekaan

Bagi pelaku bisnis, situasi ini menegaskan pentingnya menjaga likuiditas dan efisiensi keuangan. Keputusan baru Bank Indonesia untuk memangkas kembali suku bunga sebesar 25 basis poin (bsp) menjadi 4,75 persen membuka peluang pembiayaan kembali hutang atau memperkuat modal kerja dengan biaya lebih rendah.

Namun, perlu diingat bahwa penurunan bunga ini beresiko menekan rupiah. Maka dari itu apabila pelaku bisnis memiliki hutang atau impor dalam dolar, disarankan untuk menyiapkan lindung nilai sedini mungkin.

Untuk menghadapi potensi perlambatan, perusahaan sebaiknya menyiapkan cadangan kas yang memadai dan menghindari ekspansi berlebihan tanpa penyangga keuangan. Dengan langkah ini, bisnis tetap gesit menghadapi ketidakpastian sekaligus siap menangkap peluang dari stimulus pemerintah dan arus investasi asing.

  1. Diversifikasi ke Sektor yang Lebih Resilien

DBS Group Research memprediksi perekonomian digital Indonesia akan mencapai USD 95 miliar pada 2025, ditopang oleh e-commerce, fintech, dan adopsi teknologi yang semakin luas. Selain itu, permintaan produk makanan dan kebutuhan sehari-hari juga tetap stabil didorong oleh rencana pemerintah untuk menaikkan anggaran perlindungan sosial sebesar 9 persen pada 2026 serta program makan bergizi gratis senilai Rp335 triliun.

Bagi pemilik bisnis besar, ini menjadi sinyal untuk tidak hanya mengandalkan sektor yang sensitif terhadap siklus ekonomi seperti otomotif atau komoditas, tetapi mulai mengalokasikan investasi ke sektor yang lebih resilien. Diversifikasi portofolio ke kebutuhan pokok, layanan digital, dan infrastruktur teknologi akan membantu menjaga stabilitas pendapatan sekaligus membuka peluang pertumbuhan baru. Dengan strategi ini, perusahaan bisa lebih siap menghadapi volatilitas dan selaras dengan tren ekonomi masa depan.

  1. Ikuti Arah Belanja Pemerintah

Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk berbagai sektor prioritas. Di antaranya, Rp757,8 triliun untuk pendidikan, Rp402,4 triliun untuk energi, Rp335 triliun untuk program makanan bergizi gratis, serta Rp530 triliun untuk investasi.

|Baca juga: Gubernur BI: Volume Transaksi Keuangan Digital Terus Melonjak

Bagi pemilik bisnis, arah belanja ini membuka peluang kolaborasi dan proyek strategis. Perusahaan dapat memposisikan diri sebagai mditra pemerintah dalam penyediaan infrastruktur pendidikan, energi terbarukan, distribusi pangan, maupun layanan pendukung investasi. Dengan mengikuti fokus belanja pemerintah, bisnis bukan hanya memperkuat potensi pertumbuhan, tetapi juga mendapatkan dukungan dari arus dana negara yang stabil.

  1. Seimbangkan Ketergantungan pada Modal Asing dan Domestik

Pasar modal Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh arus modal asing, sehingga pergerakan dana dari investor global bisa membuat pasar bergejolak. Namun, dukungan investor domestik kini semakin penting untuk menjaga stabilitas. Perusahaan dapat memanfaatkan strategi seperti buyback saham atau mendorong partisipasi investor lokal, baik institusi maupun ritel, agar harga saham tetap terjaga meski terjadi capital outflow dari asing.

Bagi pemilik bisnis besar, menjaga keseimbangan antara ketergantungan pada modal asing dan dukungan investor lokal akan memperkuat daya tahan perusahaan sekaligus meningkatkan kepercayaan pasar.

  1. Antisipasi Fluktuasi Global & Harga Komoditas

Harga energi dan komoditas terus mengalami pergerakan tajam yang berdampak langsung pada biaya operasional bisnis. Harga minyak Brent, misalnya, sudah turun ke USD 67,48 per barel atau hampir 12 persen sejak Juni 2025, sementara komoditas lain seperti CPO, batu bara, dan nikel juga sangat berfluktuasi. Proyeksi menunjukkan harga minyak Brent akan stabil di kisaran USD 65-70 per barel pada 2026, sedangkan harga CPO diasumsikan berada di Rp13.050/kg pada 2025.

DBS Group research menilai inflasi masih berisiko naik karena sejumlah faktor: penyerapan tarif, ketatnya pasar tenaga kerja akibat pembatasan imigrasi, dampak stimulus dari pemotongan pajak, lonjakan permintaan energi seiring belanja untuk AI, neraca rumah tangga dan korporasi yang kuat, serta pasar ekuitas yang booming. Tekanan inilah yang membuat suku bunga jangka panjang tetap tinggi.

Kondisi ini menjadi sinyal bagi pemilik bisnis untuk lebih berhati-hati dalam mengatur harga produk dan jalur pasokan barang. Salah satu cara yang bisa dilakukan bisa dengan mengunci harga lewat kontrak jangka panjang agar biaya bahan baku tidak melonjak secara tiba-tiba. Dengan langkah antisipasi ini, perusahaan bisa tetap menjaga keuntungan dan lebih siap menghadapi perubahan ekonomi global yang tidak pasti.

Editor: Wahyu Widiastuti

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Per Agustus 2025, Aplikasi ASDP Ferizy Tembus 3,23 Juta Pengguna
Next Post POJK Kemudahan Akses Pembiayaan UMKM Meluncur, Legislator: Kabar Baik bagi Masyarakat!

Member Login

or