1
1

Indonesia Siap Capai Target Penurunan Emisi Karbon 2030

Pencemaran udara melalui pabrik-pabrik industri pengolahan. | Foto: ist

Media Asuransi, JAKARTA – Presiden baru saja mengesahkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK). Hal ini menjadikan Indonesia penggerak pertama (first mover) penanggulangan perubahan iklim berbasis pasar (market) di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. 

Pengesahan peraturan ini juga disampaikan oleh Presiden RI Joko Widodo dalam pertemuan Conference of the Parties (COP) 26 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Glasgow, UK.

Kesadaran bahwa selain pandemi, perubahan iklim akan menjadi tantangan global yang perlu ditangani secara bersama semakin menguat baik di tingkat internasional maupun nasional dalam negeri Indonesia. 

Pada tahun 2016, pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Komitmen tersebut kemudian dipertegas menjadi bagian dari dokumen perencanaan pembangunan nasional 2020–2024 dan menjadikan penanganan perubahan iklim sebagai salah satu agenda prioritas nasional. Hal tersebut menunjukkan betapa kuatnya dukungan atas komitmen global tersebut.

Dalam konteks ini, Indonesia menetapkan ambisi yang cukup tinggi sebagai negara berkembang yakni penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada tahun 2030. 

Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi NDC Indonesia. Bahkan pada dokumen update NDC tahun 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) di tahun 2060 atau lebih awal. Dokumen terakhir tersebut juga menetapkan perlunya perhatian pada aspek adaptasi perubahan iklim sebagai salah satu target strategis nasional.

Selain komando dan kendali (command and control), upaya penurunan emisi gas rumah kaca dapat dilakukan melalui pendekatan berbasis pasar (market-based instruments/MBI). Kebijakan berbasis pasar mendasarkan kebijakannya pada aspek penetapan nilai ekonomi karbon atau yang sering disebut dengan carbon pricing. Secara umum, carbon pricing terdiri atas dua mekanisme penting yaitu perdagangan karbon dan instrumen non-perdagangan. Jika instrumen perdagangan terdiri atas cap and trade serta offsetting mechanism, maka instrumen non-perdagangan mencakup pungutan atas karbon dan pembayaran berbasis kinerja atau result-based payment/RBP.

|Baca juga: Indonesia Jadi Negara Berkembang Pertama yang Terapkan Pajak Karbon

Febrio Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyatakan bahwa pemerintah sangat memahami bahwa untuk mencapai target NDC diperlukan inovasi-inovasi instrumen kebijakan. 

“Penetapan Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon ini merupakan tonggak penting dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030 dan NZE 2060 sebagai bagian dari ikhtiar menuju Indonesia Emas tahun 2045,” tegasnya yang saat ini tengah memperjuangkan isu Climate Finance dari tempat penyelenggaraan COP 26 di Glasgow. 

Dia menjelaskan bahwa instrumen NEK ini menjadi bukti kolaborasi dan kerja sama multipihak yang sangat baik dan dapat menjadi momentum bagi first mover advantage penanggulangan perubahan iklim berbasis market di tingkat global untuk menuju pemulihan ekonomi yang berkelanjutan. 

“Diharapkan investasi hijau global akan berlomba menuju Indonesia di samping kesempatan untuk mendapatkan pembiayaan berbiaya rendah hijau global.”

Sebagaimana diketahui bahwa untuk mendukung pencapaian target NDC, pemerintah telah menerapkan berbagai kebijakan fiskal termasuk pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One dan Green Climate Fund (GCF). 

Inovasi kebijakan terakhir yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Implementasi tersebut telah menjadikan Indonesia sejajar dengan negara-negara maju yang telah melaksanakan kebijakan pajak karbon ini di antaranya Inggris, Jepang dan Singapura dan juga sebagai salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang akan mengimplementasikannya lebih dahulu.

Dengan memanfaatkan first mover advantage, sambung Febrio, Indonesia akan menjadi acuan dan tujuan investasi rendah karbon di berbagai sektor pembangunan baik di sektor energi, transportasi, maupun industri manufaktur. Industri-industri berbasis hijau akan menjadi primadona investasi masa depan. 

Industri kendaraan listrik, sumber-sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, panas bumi, dan angin akan menjadi pendongkrak ekonomi dan mampu memberikan nilai tambah bagi bangsa Indonesia serta menyerap tenaga kerja yang berkeahlian tinggi. 

“Ini merupakan kesempatan emas untuk mensejajarkan bangsa Indonesia dengan negara-negara lain dan di saat yang sama mampu menjaga warisan bumi Indonesia yang sehat dan berkelanjutan yang dipinjamkan oleh anak cucu kita,” pungkas Febrio.

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Top 5 Reksa Dana Pencetak Return Tertinggi Ytd 29 Oktober 2021
Next Post Mencengangkan, Laba Bersih PGAS Meroket 437%

Member Login

or