Media Asuransi, GLOBAL – Sektor asuransi dan asuransi syariah Malaysia siap mengalami pemulihan tahun ini, di tengah gejolak pasar keuangan global. Ini merupakan kelanjutan dari tahun baik yang dialami industri pada tahun 2022, setelah pemulihan pasca-lockdow.
Menurut Asosiasi Takaful Malaysia (MTA), industri asuransi syariah mencatat pertumbuhan yang kuat pada tahun 2022 berkat fase pemulihan pasca-lockdown di negara tersebut, dengan tingkat penetrasi asuransi syariah keluarga sebesar 20,1% pada tahun lalu dibandingkan dengan 18,6% pada tahun 2021. Bisnis takaful umum menghasilkan kontribusi langsung bruto sebesar MYR4,6 miliar (US$992 juta) pada tahun 2022, meningkat dari tahun ke tahun sebesar 21,1% dibandingkan tahun 2021.
Dilansir dari laman Asia Insurance Review, Statistik dari Asosiasi Asuransi Umum Malaysia (PIAM) juga menunjukkan tren serupa pada industri asuransi. Perusahaan asuransi non-jiwa mencatat peningkatan premi bruto langsung sebesar 10% menjadi MYR19,4 miliar untuk setahun penuh tahun 2022 dibandingkan tahun 2021.
Industri ini menunjukkan ketahanan yang nyata dalam menghadapi kondisi keuangan global yang tidak menentu. Menurut Presiden dan CEO Malaysia Re, Ahmad Noor Azhari Abdul Manaf, secara global perusahaan reasuransi telah mengalami peningkatan kerugian akibat bencana alam selama bertahun-tahun yang berdampak negatif pada laba perusahaan reasuransi. Sebagai tanggapannya, sejumlah perusahaan reasuransi telah mengurangi eksposur bencana mereka dan perkembangan ini telah menyebabkan krisis kapasitas di seluruh dunia.
“Selain itu, kombinasi pemulihan pascapandemi yang lamban dan invasi Rusia ke Ukraina yang membatasi pasokan energi dan produksi pangan global, telah mendorong inflasi. Sebagai tanggapan, bank sentral termasuk Bank Negara Malaysia telah menaikkan suku bunga,” katanya.
|Baca juga: Eksistensi Reasuransi sebagai Kolaborator Strategis dalam M&A dan Divestasi
Hasil underwriting Malaysia Re belum menunjukkan dampak yang signifikan, terutama untuk pasar domestik. Hal ini disebabkan oleh inflasi yang tidak separah yang dialami negara-negara besar dunia. Inflasi umum di Malaysia tampaknya telah mencapai puncaknya sebesar 4,7% pada bulan Agustus 2022, dan berada dalam tren menurun serta menurun menjadi 3,8% pada bulan Desember 2022 dan selanjutnya turun menjadi 2,8% pada bulan Mei 2023.
“Inflasi berdampak pada klaim motorik, medis, dan rawat inap. Di dalam negeri, kami mempunyai beberapa eksposur melalui portofolio penyerahan sukarela meskipun mengingat ukuran bisnis yang relatif kecil, kami tidak dapat memastikan secara pasti kenaikan klaim yang disebabkan oleh inflasi,” kata Ahmad.
Selain itu, meskipun suku bunga yang lebih tinggi berdampak positif pada pasar pendapatan tetap, inflasi yang mendasarinya dan risiko geopolitik berdampak negatif pada pasar ekuitas yang berdampak pada tantangan pendapatan investasi bagi perusahaan reasuransi selama periode 2020-2022.
“Namun, Re Malaysia memiliki eksposur terhadap tanggung jawab luar negeri di pasar Eropa, Inggris, dan Amerika. Oleh karena itu, untuk cadangan liabilitas klaim, kami telah sedikit menyesuaikan rasio klaim ke atas untuk memperhitungkan inflasi di pasar luar negeri tersebut. Namun demikian, dampak pergerakan suku bunga lebih terlihat pada sisi investasi karena modal kami sedikit terpengaruh akibat penurunan nilai obligasi,” tambahnya.
Menurut Ahmad, bagi pemegang saham reasuransi asal Malaysia, ada kekhawatiran mengenai terbatasnya kapasitas yang tersedia di pasar khususnya untuk perlindungan bencana alam dan kekhawatiran tidak terlaksananya program reasuransi mereka secara penuh. “Selain itu, mereka juga menghadapi kenaikan tajam biaya reasuransi yang memberikan tekanan pada pemeliharaan profitabilitas,” jelasnya.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News