Media Asuransi, JAKARTA – Terletak di kawasan Cincin Api Pasifik, Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, mencapai sekitar 40 persen dari total cadangan panas bumi dunia. Pada konteks itu, Kamojang menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah panas bumi Indonesia.
Wilayah ini sudah mulai dieksplorasi sejak 1926, menjadikannya yang tertua di Tanah Air. Hampir satu abad kemudian, Kamojang tak hanya konsisten menyuplai energi bersih, tapi juga mencatat sejarah baru sebagai tempat lahirnya inovasi kopi pertama di dunia yang diproses dengan uap panas bumi.
|Baca juga: Buana Finance (BBLD) Kantongi Kredit Rp200 Miliar dari Bank KEB Hana
|Baca juga: Bank Mandiri: Akselerasi Ekonomi 2025 Butuh Penguatan Sinergi Fiskal dan Moneter
Muhammad Ramdhan Reza Nurfadilah, atau yang lebih dikenal dengan sapaan Mang Deden, merupakan pelopor yang menghadirkan inovasi itu. Sejak 2023, Deden bersama para pelaku usaha lokal memanfaatkan kekayaan alam kampung halamannya dengan dukungan dari PT Pertamina Geothermal Energy Tbk PGE (PGEO), yang telah beroperasi di Kamojang sejak 1983.
Awal mula berbisnis kopi
Sebelum mencetuskan inovasi kopi panas bumi, Deden sudah lebih dulu menjalankan usaha kopi sejak 2015, lengkap dengan sebuah coffee shop yang dikelola sendiri. Selain pengusaha kopi, Deden juga aktif berperan sebagai Ketua Karang Taruna di Kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Partisipasinya dalam komunitas tersebut membuat kedai kopi milik Deden kerap menjadi tempat berkumpul warga untuk bersantai dan berbagi cerita, termasuk para pekerja dari PGE Area Kamojang. Sejak saat itu, Deden mengaku mulai menjalin hubungan baik dengan para karyawan PGE Area Kamojang.
Kedekatan tersebut terjalin melalui obrolan santai yang sering diwarnai dengan diskusi seputar kopi, mulai dari proses produksi hingga peluang pengembangan kopi lokal. Ternyata, obrolan tersebut tak sekadar wacana, tetapi menjadi awal mula sesuatu yang bermanfaat. Suatu hari, PGE menyampaikan keinginan untuk memulai program pembinaan kopi.
|Baca juga: Viral di Media Sosial Rekening Nasabah BCA dan Bank Jago Diblokir, PPATK Akhirnya Buka Suara!
|Baca juga: Profil Lengkap Anggoro Eko Cahyo, dari Bos BPJS Hijrah Jadi Dirut Baru BSI
Deden pun merespons niat baik tersebut dengan antusiasme. “Waktu itu saya anggap ide tersebut menjadi tantangan. Saya melihat potensi panas bumi sebagai peluang untuk menjadi solusi dari berbagai permasalahan yang dihadapi para produsen kopi konvensional,” jelasnya, dikutip dari keterangannya, Sabtu, 7 Juni 2025.
Lahirnya kopi panas bumi
Bersama PGE, Deden melakukan riset intensif untuk menemukan teknik fermentasi yang paling sesuai dengan karakteristik panas bumi yang digunakan dalam proses pengolahan kopi. “Dari lebih dari 20 jenis proses yang dicoba, akhirnya kami menemukan tiga metode yang paling sesuai dengan karakter pengeringan,” ungkapnya.
Setelah riset tersebut, Deden mulai memulai produksi dengan mengolah biji Arabika yang berasal dari tanaman yang tumbuh di dataran tinggi Kamojang, pada ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut.
Deden kemudian mengajak para pelaku usaha kopi di Kamojang untuk membangun ekosistem bisnis yang lebih efisien melalui pemanfaatan teknologi ‘Geothermal Dry House’. Teknologi ini tidak lagi mengandalkan sinar matahari yang kini semakin sulit diprediksi akibat perubahan iklim global.
Sebagai gantinya, ‘Geothermal Dry House’ memanfaatkan aliran steam trap dari uap panas bumi PGE Kamojang yang dialirkan melalui pipa. Ini memungkinkan pengaturan suhu ruangan secara stabil dan terkontrol untuk proses pengeringan kopi yang lebih efisien, higienis, dan berkualitas.
|Baca juga: IPOT Bond Resmi Meluncur, Era Baru Investasi Obligasi di Indonesia
|Baca juga: Vale Indonesia (INCO) Tebar Dividen 60% dari Laba 2024, Setara Rp569 Miliar
Dari sisi potensi bisnis, teknologi ini memiliki keunggulan dengan efisiensi waktu pengeringan yang jauh lebih singkat, sehingga berdampak langsung pada penghematan biaya operasional. Efisiensinya bisa mencapai 300 persen, karena proses pengeringan berlangsung tiga kali lebih cepat. Artinya, dengan waktu dan biaya yang sama, produksi meningkat hingga tiga kali lipat.
“Hal ini juga meminimalkan risiko kontaminasi bakteri dari luar. Dengan begitu, bakteri yang berpengaruh terhadap proses hanya berasal dari fermentasi sebelum pengeringan. Dari sisi cita rasa, hasil akhirnya jadi lebih fruity, aromanya lebih kuat, dan teksturnya pun terasa lebih lembut dibandingkan dengan kopi yang diproses secara konvensional,” jelasnya.
Kini, Deden mengelola Geothermal Coffee Process (GCP) sebagai Managing Director, di mana ia berkolaborasi dengan PGE untuk merangkul para petani kopi di kawasan Kamojang. GCP bergerak di bidang pengolahan biji kopi usai panen, mulai dari processing, pengeringan, hingga pengupasan kulit ari, dengan hasil akhir berupa green bean.
Saat ini, GCP menjadi mitra bagi lebih dari 80 petani yang secara konsisten memasok hasil panen mereka setiap musim panen. Bahkan GCP tercatat menyerap hingga 20 ton biji kopi pada musim lalu. Ke depannya, Deden memiliki harapan untuk menjadikan GCP sebagai usaha pengolahan kopi yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Ia juga bercita-cita agar GCP mampu memberikan dampak sosial dan ekonomi yang lebih luas bagi komunitas sekitar, tidak hanya terbatas pada para petani atau mitra GCP saja. Bahkan pada tahun pertama peluncuran, Deden mengatakan ada pihak dari luar negeri yang tertarik untuk meniru sistem ini.
“Kami merasa penting untuk segera mematenkannya. Daripada konsep ini diadopsi pihak luar terlebih dahulu, lebih baik kita kembangkan di dalam negeri. Kami ingin agar masyarakat Indonesia, khususnya di daerah penghasil kopi yang dekat dengan sumber panas bumi, bisa lebih dulu menerapkan konsep serupa,” kata Deden.
Inilah yang mendorong semangat Deden untuk mengenalkan kopi panas bumi sebagai inovasi asli Indonesia ke tingkat global. Usaha tersebut membuahkan hasil, karena GCP berhasil menembus pasar internasional dengan mulai mengekspor produknya ke Jepang. Tahun ini, mereka bahkan menargetkan perluasan ekspor ke wilayah Eropa.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News