Media Asuransi, JAKARTA — Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,12 persen pada kuartal II/2025 yang diumumkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menuai sorotan tajam dari kalangan ekonom.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengaku masih meragukan keabsahan data tersebut dan meminta pemerintah untuk lebih terbuka dalam menjelaskan dasar pertumbuhan ekonomi yang diklaim meningkat tersebut.
|Baca juga: Indef Sebut Modal Awal Rp14 Triliun Jadi Penghambat Masuknya Pemain Baru Bullion Bank
|Baca juga: Indonesia-Kamboja Perkuat Kerja Sama Penanggulangan Bencana Lewat Skema Asuransi dan Perlindungan Sosial
Ekonom Indef Andry Satrio Nugroho menyatakan pihaknya belum puas dengan penjelasan resmi dari BPS. Ia menyoroti pentingnya keakuratan data karena menjadi acuan berbagai kebijakan strategis.
“Kita (Indef) tetap mempertanyakan kepada BPS apakah data-data pertumbuhan ekonomi 5,12 persen ini valid dan mencerminkan kondisi di lapangan,” ujarnya Andri, dalam diskusi publik yang diselenggarakan pada Rabu, 6 Agustus 2025.
Pandangan senada juga disampaikan Ekonom Senior Indef M Fadhil Hasan. Ia menyoroti ketidaksesuaian antara data pertumbuhan yang dirilis BPS dan realitas indikator utama ekonomi nasional yang justru menunjukkan kecenderungan melemah.
Beberapa indikator yang dipersoalkan antara lain penurunan konsumsi rumah tangga, kontraksi Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur di bawah angka 50, serta lesunya penjualan kendaraan bermotor. Padahal, BPS melaporkan investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) tumbuh 6,99 persen secara tahunan, tertinggi sejak kuartal II/2021.
|Baca juga: AXA Financial Soroti 3 Tantangan Besar Implementasi IFRS 17, Apa Saja?
|Baca juga: Dicecar BEI tentang Volatilitas Transaksi Saham, Manajemen MSIG Life (LIFE) Buka Suara
Investasi ini disebut menjadi salah satu mesin utama pertumbuhan ekonomi. Namun Fadhil merujuk data Kementerian Investasi dan Hilirisasi yang justru menunjukkan penurunan arus investasi asing langsung atau Foreign Direct Investment (FDI).
“FDI asing, ini keterangan dari Pak Rosan sendiri (Menteri Investasi) menyatakan turun Rp202,2 triliun dari periode tahun lalu triwulan II/2024 Rp217,3 triliun,” ungkap Fadhil.
Ia menambahkan indikator lainnya seperti pertumbuhan kredit perbankan yang lemah, peningkatan jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), turunnya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), hingga pesimisme masyarakat terhadap penghasilan turut memperkuat dugaan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak sekuat yang diklaim.
Fadhil menyoroti pula penurunan penerimaan negara dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang dinilai tidak sejalan dengan narasi pertumbuhan ekonomi.
|Baca juga: CCP Jadi Senjata Baru BI dan OJK Perkuat Pasar Keuangan RI
|Baca juga: Ketua Komisi XI Usul Ekspor Emas Dilarang untuk Perkuat Cadangan Ekonomi RI
“Jadi saya kira ini sesuatu yang juga menyebabkan atau mendorong seharusnya pemerintah itu lebih transparan lagi lebih terbuka lagi, lebih akuntabel lagi dalam hal pendataan tentang pertumbuhan ekonomi tersebut,” pungkasnya.
Editor: Angga Bratadharma
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News