1
1

Indef: Indonesia Perlu Sumber Pertumbuhan Baru di Tengah Ancaman Ekonomi Global

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah. | Foto: Media Asuransi/Muh Fajrul Falah

Media Asuransi, JAKARTA – Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menilai Indonesia perlu mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk menjaga daya saing di tengah tekanan ekonomi global. Meski pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2025 mencapai 5,12 persen, namun tantangan hingga akhir tahun masih berat.

“Memang betul bahwa di triwulan II kemarin pertumbuhan kita agak naik 5,12 persen, walaupun diiringi dengan berbagai kontroversi, ya, kontroversi perdebatan mengenai angkanya,” ujarnya, dalam pembukaan Talkshow 30 Tahun Indef, di Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025.

|Baca juga: AI Diduga Ikut Melestarikan Bias Gender, Ini Kata UN Women

|Baca juga: BI Siapkan 6 Program Unggulan untuk Perkuat Ekonomi Syariah RI

Imaduddin memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 kemungkinan besar akan berada di bawah lima persen, dengan peluang terjadinya kondisi tersebut dinilai sangat tinggi. “Oleh sebab itu, kita melihat perlu ada kerja keras dari kita semua. Apalagi kalau misalnya kita lihat tantangan dalam beberapa tahun terakhir ini sangat berat,” jelasnya.

Ia mengingatkan target pemerintah untuk mencapai pertumbuhan delapan persen perlu diukur dengan kondisi riil perekonomian Indonesia. Apalagi, hambatan seperti dampak berkepanjangan pandemi covid-19 terhadap industri dinilai masih kuat.

“Kita lihat datanya ada output gap antara pertumbuhan kita sebelum masa pandemi dan usai pandemi. Kalau misalnya tidak terjadi pandemi, harusnya PDRB per kapita kita sudah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan saat ini,” katanya.

|Baca juga: Bos OJK Akui Sudah Dikasih Bocoran dari Danantara soal Merger Perusahaan Asuransi BUMN

|Baca juga: Bos OCBC Bilang Kesepakatan Finansial dalam Rumah Tangga Kunci Atasi Bias Gender

Selain itu, dinamika global juga memperburuk kondisi, seperti kebijakan tarif impor Amerika Serikat (AS) yang kini diberlakukan untuk puluhan negara. Imaduddin menilai dampak pandemi masih terasa kuat, bahkan sejumlah sektor industri di Indonesia masih terpuruk akibat krisis tersebut.

“Selain itu, dalam beberapa bulan terakhir, banyak sekali dinamika yang terjadi di level global,” katanya.

Kebijakan tarif AS ini sebelumnya hanya berlaku untuk China, namun kini cakupannya meluas dan memberi dampak signifikan pada perekonomian dunia, termasuk Indonesia.

Imaduddin menilai agar Indonesia dapat tumbuh hingga 6-7 persen dan menjadi negara berpendapatan tinggi, diperlukan strategi baru. Ia mencontohkan penerapan ekonomi hijau seperti yang dilakukan China.

|Baca juga: OCBC Ungkap Cara Menghapus Bias Gender Demi Dunia Kerja yang Setara

|Baca juga: Maruf Amin Beberkan 3 Langkah Strategis untuk Membangun Ekonomi Syariah di RI

“Hari ini, 80 persen bahkan produk-produk yang masuk ke Amerika adalah barang hijau yang diproduksi oleh China, dan ini membuat beberapa negara, negara-negara Eropa, negara-negara termasuk Amerika Serikat, tanda kutip kalang kabut menghadapi China,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan, Indonesia perlu belajar dari China dengan mendorong kebijakan industri hijau atau green industrial policy sebagai bentuk penerapan state-led development. Menurutnya ekonomi nasional bisa tumbuh berkelanjutan jika negara berperan sebagai pengatur utama dalam mendorong pertumbuhan tersebut.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Warga dari Negara Ini Menyesal Menunda Pembelian Asuransi Jiwa, Ternyata Ini Alasannya!
Next Post Lembaga Think Tank Siap Jadi Penghubung antara Masyarakat dan Arah Kebijakan Pemerintah

Member Login

or