Media Asuransi, JAKARTA – Kondisi operasional di sektor manufaktur Indonesia terus menurun pada awal semester kedua 2025. Namun demikian, laju kontraksi melambat pada bulan ini akibat penurunan output dan permintaan baru dibandingkan bulan Juni.
Permintaan ekspor baru kembali menurun, sementara itu ketenagakerjaan dan pembelian masih di zona negatif. Harapan akan pertumbuhan pada tahun mendatang melemah pada bulan Juli, dengan kepercayaan diri di titik terendah sejak periode dimulai pada bulan April 2012. Harga input terus menguat tajam dalam empat bulan. Sehingga, biaya output naik pada laju tercepat sejak bulan April.
Headline Purchasing Managers’ Index™ (PMI®) Manufaktur Indonesia dari S&P Global tercatat di bawah titik netral 50,0 selama empat bulan berturut-turut. Dengan angka 49,2 pada bulan Juli, naik dari 46,9 pada bulan Juni, menunjukkan penurunan marginal di sektor manufaktur Indonesia.
|Baca juga: Ma’ruf Amin Sebut Indonesia Bakal Punya UU Khusus Ekonomi Syariah, Meluncur di Agustus?
Survei terkini dilakukan antara 10 hingga 24 Juli, dan hampir semua tanggapan selesai sebelum pengumuman perjanjian perdagangan dengan AS pada tanggal 22 Juli. Faktor utama penyebab penurunan angka PMI di bawah tanda tidak ada perubahan 50,0 adalah penurunan produksi berkelanjutan. Tingkat penurunan tergolong sedang dan paling rendah dalam empat bulan periode.
Panelis melaporkan bahwa penurunan output umumnya menggambarkan penurunan permintaan baru. Kenyataannya, tingkat penurunan bisnis baru juga berkurang pada bulan Juli, dengan perusahaan menyebutkan penurunan pasar sebagian diatasi oleh beberapa proyek baru.
Namun demikian, permintaan asing atas barang produksi Indonesia kembali turun ke wilayah kontraksi tiga kali selama empat bulan setelah sempat stabil pada bulan Juni. Sejalan dengan tren permintaan baru, tumpukan pekerjaan kini menurun dalam empat bulan terakhir.
|Baca juga:Pertumbuhan Ekonomi RI 5,12% Didorong oleh Faktor Musiman, Manufaktur Jadi Tantangan
Tingkat penurunan pada bulan Juli tergolong sedang, tetapi merupakan yang paling besar selama tiga bulan. Sehingga, tingkat tenaga kerja juga turun, meski tingkat PHK berkurang sejak bulan Juni dan tergolong rendah. Akibatnya, perusahaan sering menyebutkan bahwa stok barang jadi yang ada digunakan untuk memenuhi pesanan, menyebabkan penurunan stok pasca produksi dalam empat bulan terakhir.
Sementara itu, aktivitas pembelian turun pada tingkat sedang pada bulan Juli yang menurut perusahaan disebabkan oleh penurunan kebutuhan produksi. Pada waktu yang sama, bukti anekdotal menunjukkan bahwa perusahaan berupaya untuk mengurangi inventaris pembelian yang menyebabkan penurunan stok pembelian selama empat bulan berturut-turut.
Namun demikian, dilaporkan adanya tekanan tambahan terhadap pasokan karena waktu tunggu rata-rata untuk pengiriman input meningkat untuk kedua kali dalam tiga bulan, seiring keterlambatan pengiriman dan gangguan akibat konflik Iran-Israel. Sejak bulan Desember 2019, produsen barang Indonesia terus melaporkan kenaikan harga input dalam survei terbaru. Tingkat inflasi sangat kuat dan mencapai titik tertinggi sejak bulan Maret. Ketika harga naik, umumnya berkaitan dengan kenaikan harga bahan baku, sedangkan fluktuasi nilai tukar berpengaruh terhadap kenaikan harga barang impor.
|Baca juga: Danantara Larang BUMN Ganti Direksi Tanpa Evaluasi, Begini Kata Bos OJK!
Perusahaan berupaya mengalihkan kenaikan biaya input kepada klien dengan menaikkan harga pabrik hingga tingkat tertinggi selama tiga bulan terakhir. Namun, inflasi secara umum berada di tingkat sedang.
Ke depannya, produsen Indonesia menunjukkan optimisme terhadap perkiraan tahun mendatang. Namun, tingkat kepercayaan diri berkurang tajam dibandingkan pada bulan Juni dan tergolong paling lemah sejak survei dimulai bulan April 2012.
Optimisme didorong oleh harapan bahwa perekonomian akan membaik dan harga bahan baku turun. Namun demikian, sejumlah perusahaan menyampaikan kekhawatiran terkait tarif oleh AS dan lemahnya daya beli pelanggan.
Usamah Bhatti, Ekonom S&P Global Market Intelligence, mengatakandata survei bulan Juli kembali menunjukkan indikator negatif pada kesehatan perekonomian sektor manufaktur Indonesia, penurunan output dan permintaan baru berlanjut pada awal triwulan ketiga namun mereda sejak bulan Juni.
“Namun, pada saat yang sama, permintaan ekspor baru kembali menurun, sementara perusahaan sedang dalam mode retrenchment yang ditandai dengan penurunan karyawan dan pembelian,” jelasnya dalam rilis dikutip, Rabu, 6 Agustus 2025.
Produsen juga mencatat bahwa tekanan harga semakin intensif sejak awal semester 2025. Inflasi biaya merupakan yang paling tinggi dalam empat bulan di tengah peningkatan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar. Kenaikan biaya sebagian dibebankan kepada klien meski inflasi biaya pada tingkat sedang.
“Kepercayaan diri menghadapi tahun mendatang berkurang tajam pada bulan Juli, dengan tingkat optimisme berada di tingkat terendah dalam survei. Perusahaan menyatakan kekhawatiran tentang tarif AS dan penurunan daya beli yang mungkin membatasi volume pada tahun mendatang.”
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News