1
1

Pertumbuhan Ekonomi 2024 Dinilai Belum Maksimal, Kualitas Belanja Jadi Sorotan

Anggota DPR RI Fraksi PKB Indrajaya saat menyerahkan laporan pandangan fraksi terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun 2024. | Foto: Farhan/vel/DPR

Media Asuransi, JAKARTA – Anggota DPR RI Indrajaya dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menilai pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2024 belum sepenuhnya mencapai sasaran strategis pembangunan, meskipun mencatat sejumlah capaian positif.

Hal ini disampaikan dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) ke-23 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2024–2025, saat menyampaikan pandangan fraksi terhadap RUU Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN Tahun 2024.

|Baca juga: Beban Utang dan Pertumbuhan Ekonomi RI di APBN 2024 Dapat Kritikan Pedas

|Baca juga: Pengelolaan APBN 2024 Dinilai Stabil, tapi Masih Banyak PR yang Perlu Dibenahi

Indrajaya menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2024 sebesar 5,03 persen belum memenuhi target APBN sebesar 5,2 persen. Menurutnya kegagalan mencapai target ini mencerminkan lemahnya daya beli masyarakat meskipun pemerintah telah mengucurkan bantuan sosial dalam jumlah besar.

“Angka ini tidak impresif. Padahal bantuan sosial yang dikeluarkan pada 2024 mencapai Rp455,9 triliun, naik 4,5 persen dari tahun sebelumnya. Artinya, stimulus fiskal belum mampu mendorong konsumsi rumah tangga secara optimal,” ujarnya, dikutip dari keterangan resminya, di Jakarta, Rabu, 9 Juli 2025.

Selain itu, PKB menyoroti pelemahan nilai tukar rupiah yang pada 2024 tercatat sebesar Rp15.847 per dolar Amerika Serikat (AS), atau jauh di atas asumsi APBN sebesar Rp15.000. Ia menilai kondisi ini dipicu oleh defisit neraca berjalan dan dinamika global yang belum stabil.

“Kami mendorong pemerintah untuk menjadikan realisasi 2024 ini sebagai lesson learned bagi kinerja 2025,” ujarnya.

|Baca juga: OJK: Rendahnya Literasi dan Inklusi Sebabkan Asuransi Sering Dianggap Beban

|Baca juga: OJK Beberkan 6 Tantangan Industri Asuransi yang Wajib Dibereskan, Berikut Rinciannya!

Ia menekankan pentingnya kesiapan Indonesia dalam menghadapi unipolaritas global dan dampak konflik internasional terhadap rantai pasok dan nilai tukar. Mengenai ketenagakerjaan, Indrajaya mengapresiasi penurunan tingkat pengangguran terbuka menjadi 4,91 persen.

Namun, dirinya menyebutkan, penurunan tidak serta merta mencerminkan kualitas pekerjaan karena masih 57,95 persen dari total pekerja Indonesia berada di sektor informal. Ia mendorong pemerintah untuk menarik lebih banyak investasi padat karya, khususnya pada sektor hilirisasi, pertanian, kehutanan, dan kelautan.

“Kita harus buka lebih banyak lapangan kerja formal yang menyerap angkatan kerja lokal,” ucapnya.

Dari sisi penerimaan negara, PKB mengapresiasi realisasi pendapatan sebesar Rp2.850,6 triliun atau 101,72 persen dari target. Namun, menurut Indrajaya, masih diperlukan upaya lebih besar agar rasio pajak terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) bisa tumbuh lebih tinggi.

Ia mengkritik masih banyaknya piutang perpajakan yang diragukan. Tercatat, terdapat piutang pajak yang macet sebesar Rp30,6 triliun, dan piutang yang diragukan sebesar Rp21,78 triliun. Hal Ini menunjukkan masalah tata kelola perpajakan yang harus segera diperbaiki.

|Baca juga: Prudential Luncurkan PRUSmart Plan, Perlindungan Jiwa dengan Kepastian Manfaat

|Baca juga: Bos BEI Beri 3 Wejangan untuk Perusahaan yang Sudah IPO, Apa Saja?

Terkait belanja negara, realisasi sebesar Rp3.359,7 triliun belum sepenuhnya optimal. Hal ini baik dari belanja kementerian atau lembaga maupun transfer ke daerah belum tentu berdampak signifikan terhadap penurunan kemiskinan atau peningkatan nilai tukar nelayan.

Dirinya turut mengangkat soal sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) 2024 yang mencapai Rp45,73 triliun. Silpa yang tinggi ini dinilai mengindikasikan adanya overfinancing. Multiplier effect dari pinjaman tidak optimal, dan bunga tetap harus dibayar.

Meski demikian, Fraksi PKB mengapresiasi pemerintah atas raihan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK untuk kesembilan kalinya sejak 2016. “Ini pencapaian yang patut diapresiasi. Tapi harus dibarengi dengan pembenahan di lapangan agar tidak hanya berhenti di atas kertas,” tutup Indrajaya.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Prudential Indonesia Meluncurkan PRUSmart Plan
Next Post DPR dan Pemerintah Sepakati Asumsi Makro dan Target Pembangunan RAPBN 2026

Member Login

or