1
1

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Turun, Target 8% Sulit Tercapai?

Ilustrasi. | Foto: Media Asuransi/Angga Bratadharma

Media Asuransi, JAKARTA – Target pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar delapan persen dinilai sulit tercapai tanpa penguatan sektor industri. Sejak 2011 hingga 2024, tren pertumbuhan ekonomi tahunan (yoy) terus mengalami penurunan dengan kontribusi industri manufaktur yang semakin melemah.

Pada kuartal IV/2024, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 5,02 persen, jauh dari target Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2024 sebesar 19,9-20,5 persen.

Guru Besar Universitas Paramadina Ahmad Badawi Saluy menyoroti lemahnya kontribusi industri dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Tren pertumbuhan ekonomi Indonesia cenderung menurun, dengan kontribusi industri pengolahan yang sangat kecil, yaitu hanya satu persen.

|Baca juga: BTN (BBTN) dan Mapclub Teken Kerja Sama Transaksional Demi Penuhi Kebutuhan Gaya Hidup Nasabah

|Baca juga: Tingkatkan Pelindungan Data Nasabah, Prudential Indonesia Perkuat Transformasi Digital

“Hal ini menunjukkan peran sektor manufaktur yang semakin melemah dalam mendukung perekonomian nasional,” kata Ahmad Badawi, dikutip dari keterangan tertulisnya, Jumat, 28 Februari 2025.

Badawi membandingkan kinerja industri manufaktur Indonesia dengan Malaysia dan Vietnam. Pada konteks itu, Indonesia masih tertinggal karena industri manufakturnya masih berbasis sumber daya alam, sementara Malaysia dan Vietnam telah beralih ke industri berbasis teknologi tinggi, dan Thailand didominasi oleh industri teknologi menengah.

“Transformasi struktural diperlukan agar industri Indonesia mampu bersaing ditingkat global,” ucapnya.

Selain lemahnya sektor industri, beban utang pemerintah juga menjadi tantangan serius bagi perekonomian nasional. Pada 2024, utang jatuh tempo pemerintah pusat mencapai Rp371,8 triliun dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp62,49 triliun dalam bentuk pinjaman, dengan total kewajiban utang yang harus ditanggung mencapai Rp1.353,2 triliun.

|Baca juga: Eks Pejabat Ditjen Pajak Ditetapkan Jadi Tersangka Dugaan Gratifikasi Rp21,5 Miliar

|Baca juga: Kasus Asuransi Jiwasraya Makin Panas, Kejagung Periksa 4 Saksi Kunci!

“Dengan kondisi ini, peluang Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen semakin berat, terutama karena faktor pendukung seperti industri, situasi politik, dan penegakan hukum masih belum memadai,” tuturnya.

Dosen Universitas Paramadina Muhamad Ikhsan menekankan pertumbuhan ekonomi delapan persen harus dipahami sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar target angka. Ia menyoroti tanda-tanda deindustrialisasi, yang terlihat dari menurunnya nilai tambah sektor manufaktur dalam beberapa tahun terakhir.

“Indonesia masih tertinggal dalam Global Innovation Index dan Economic Complexity Index, yang mencerminkan rendahnya daya saing dan kapasitas inovasi industri nasional,” ucapnya.

Selain itu, Ikhsan menyoroti ketimpangan pertumbuhan ekonomi yang masih terpusat di Pulau Jawa, sementara sektor pertanian semakin kehilangan perannya dalam PDB, sedangkan sektor jasa terus meningkat.

Ia memberikan tiga rekomendasi bagi pemerintah, yaitu melakukan kembali industrialisasi dibanding hanya hilirisasi, meningkatkan inovasi, serta mengurangi ketimpangan pembangunan dengan memperkuat sektor-sektor strategis.

Peneliti CITI Indef Ariyo DP Irhamna menyoroti efektivitas kabinet pemerintahan saat ini yang dinilai terlalu besar sehingga menghambat koordinasi serta pengambilan keputusan dalam menangani isu-isu strategis. Tren global justru bergerak ke arah efisiensi birokrasi, baik di tingkat kementerian maupun jumlah pegawai.

Indikator industri manufaktur juga menunjukkan tren negatif. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada awal 2025 lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan mendekati level awal 2022, yang mengindikasikan sektor ini masih berjuang antara ekspansi dan kontraksi.

|Baca juga: Jahja Setiaatmadja Borong Saham BCA (BBCA) Senilai Rp2,9 Miliar, Apa Tujuannya?

|Baca juga: Mirae Asset dan Bank DBS Indonesia Luncurkan M-STOCK Online Retail Bond

Ariyo menyoroti adanya kesenjangan pertumbuhan di beberapa sektor industri, di mana ada industri yang pertumbuhannya tinggi dan kontribusinya besar, tetapi ada juga yang pertumbuhannya tinggi namun kontribusinya kecil. Selain itu, pertumbuhan Total Factor Productivity (TFP) Indonesia mengalami penurunan signifikan hingga berada di angka negatif.

Inovasi melalui riset perlu diperhatikan lebih serius oleh pemerintah, mulai dari akademisi hingga pengembangannya di industri. Ia merekomendasikan dua kebijakan utama, yaitu memperkuat domestic value chain dan melakukan reformasi birokrasi serta kebijakan ekonomi agar sektor industri dapat berkembang lebih baik.

“Tanpa reformasi kebijakan ekonomi yang komprehensif dan penguatan sektor industri, target pertumbuhan ekonomi delapan persen dinilai mustahil tercapai,” pungkasnya.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bank Muamalat Peroleh Izin Bappebti sebagai Bank Penyimpan Margin, Dana Kompensasi, dan Dana Jaminan Transaksi Emas
Next Post VSS dan Bank Dunia Bidik Cakupan Asuransi Sosial Bisa Lebih Luas di Vietnam

Member Login

or