Media Asuransi, JAKARTA – Dirjen Pajak periode 2001-2006, Hadi Poernomo, menyoal kinerja rasio pajak (tax ratio) Indonesia yang masih rendah hingga saat ini.
Dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina dengan tema “Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah: PR Presiden yang Akan Datang”, Senin, 5 Februari 2024, dia menyampaikan bahwa pajak adalah suatu hal yang mengharuskan kita untuk kembali menyimak apa yang disebutkan dalam Undang-undang, dan semua pihak semestinya tahu. “Saat ini semua pihak menyebut langsung ke akibatnya yakni tax ratio turun, jumlah penerimaan pajak kecil,” katanya.
Hadi mengutip Bung Karno yang pernah menyebutkan dalam satu peraturan pengganti UU No 2/65 khususnya pasal 12 ayat 2 yang menyatakan bahwa, pajak atau penerimaan negara itu sukses kalau ditiadakan rahasia bagi aparatur pajak.
Dia juga mengingatkan bahwa pada 01 Januari 1984 Presiden Soeharto mengubah Undang-undang Perpajakan yang sebelumnya Official Assesment di mana pemerintah menentukan jumlah pajak dari wajib pajak, menjadi Self Assessment. “Jadi wajib pajak diberi kesempatan menghitung sendiri pajaknya, membayar sendiri, dan melapor sendiri pajaknya,” jelasnya.
|Baca juga: Menkeu Pede Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 2024 Terjaga di Atas 5%
Tax ratio tahun 2022 tercatat 10,4% (Audited). Pada 2023 turun menjadi 10,2% (unaudited). Tahun 2024 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan menjadi 9,53%, tahun 2025 menjadi 10,12%, tahun 2026 diperkirakan 10,31%, dan tahun 2027 diperkirakan menjadi 10,41%.
“Dari data-data di atas bisa dipertanyakan mengapa tax ratio Indonesia tidak bisa mencapai angka maksimal seperti periode pemerintahan sebelumnya,” tegasnya.
Hadi juga menjelaskan bahwa dalam UU No 9/2017 menyatakan rahasia perbankan tidak berlaku bagi perpajakan. Demikian pula untuk rahasia bagi penanaman modal dan bank syariah, juga tidak berlaku untuk hal perpajakan. “Itulah kekuatan dari Undang-undang Perpajakan sekarang. Kalau saja semua pihak melaksanakan hal hal itu sesuai dengan Undang-undang, maka seharusnya tax ratio Indonesia akan tinggi sekali,” jelasnya.
Eisha M. Rachbini, Ketua Center Ekonomi Digital dan UKM INDEF, melihat tax ratio Indonesia mengalami tren menurun sejak tahun 1980. Tax ratio pada tahun 2022 sebesar 10,4%, sedangkan tax ratio 2023 mengalami penurunan menjadi 10,21%.
Eisha juga memberikan pembanding lainnya bahwa tax ratio Indonesia (2021) berada di bawah negara Asia Pacific (20%) dan China (21%). “Dibandingkan negara ASEAN, Vietnam, Philippines, Cambodia berkisar di level 18%, dan Thailand 16%. Sedangkan Jepang memiliki tax ratio 33% dan OECD 34%.”
Pengelolaan Utang Negara
Handi Risza, Wakil Rektor Universitas Paramadina, melihat banyak negara yang mengalami kegagalan dalam mengelola hutangnya seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador dan Sri Lanka. Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela mempunyai sumber daya minyak bumi yang memadai, tetapi hal tersebut tidak berdampak besar sehingga tetap memiliki utang.
Handi mengambil contoh kasus lain yang tak kalah mengkhawatirkan. “Whoosh atau Kereta Cepat Jakarta – Bandung semula dianggarkan US$7 miliar kemudian membengkak signifikan menjadi US$11 miliar. Jika tidak hati-hati dan segera melunasi utang, maka khawatir kasus yang terjadi pada Pelabuhan Hambantota di Srilanka akan terjadi juga di Indonesia.”
|Baca juga: Para Menteri Asia Sepakat Dorong Implementasi Tax Transparency yang Inklusif
Menurutnya kunci utama pengelolaan utang patut dicontoh dari Jepang, Korea dan Cina adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.
“Selama tujuh tahun terakhir, terhitung sejak 2017 utang Indonesia memiliki kecenderungan naik secara signifikan. Hingga puncaknya, kenaikan tersebut semakin terlihat dengan jelas pada tahun 2020-2023,” tambahnya.
Handi mengingatkan bahwa pada periode Presiden SBY, mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2.608,7 triliun. Namun kurang dari 10 bulan sebelum masa akhir pemerintahan Presiden Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Beban utang yang ditanggung oleh APBN secara total yang mencakup pokok dan bunga sekitar Rp 500 triliun tiap tahun dan hal tersebut sangat membebani APBN. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan.
Editor: Achmad Aris
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News