Media Asuransi, JAKARTA – PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) menilai pemulihan pasca pandemi yang belum merata, masih membayangi ekonomi Indonesia. Hal ini tecermin dari pertumbuhan penjualan ritel yang lemah dan indeks keyakinan konsumen yang belum pulih ke level pra-pandemi di segmen masyarakat dengan tingkat konsumsi terendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis awal Februari 2025 menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia tumbuh 5,03 persen year on year (yoy) pada tahun 2024. Terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi yang terjadi dua tahun berturut-turut, yakni dibandingkan tahun 2023 sebesar 5,05 persen dan tahun 2022 sebesar 5,31 persen.
“Penurunan dua tahun berturut-turut ini cukup membuat pasar khawatir,” kata Chief Investment Officer-Equity MAMI, Samuel Kesuma, dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 18 Februari 2025.
|Baca juga: OJK Minta Perbankan Cermati Risiko Pasar dan Risiko Likuiditas di 2025
Positifnya, kondisi ini terlihat sangat diperhatikan pemerintah dan menjadi fokus pada awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Contohnya saja, ‘frontloading’ kebijakan populis dan guyuran stimulus diimplentasikan di kuartal I/2025 ini, antara lain kenaikan UMR yang lebih tinggi dari ekspektasi, pembatalan kenaikan PPN yang sebelumnya sudah menjadi Undang-Undang, paket stimulus ad hoc senilai Rp38 triliun, dan pemangkasan BI Rate, untuk mendorong pertumbuhan.
Menurut Samuel, tak dapat disanggah, kita belum dapat memastikan efektivitas booster–booster ekonomi tersebut, apalagi di tengah potensi melemahnya perdagangan dunia akibat perang tarif. “Kami mengharapkan pemerintah terus mengawal dan mendukung pertumbuhan dengan kebijakan-kebijakan lanjutan, jangan hanya difokuskan di kuartal pertama ini saja,” tuturnya.
Konsumsi dan daya beli yang lemah seperti tecermin pada pertumbuhan PDB, membuat pasar saham juga terbawa lesu. Belum lagi kemenangan Donald Trump yang membuat saham-saham AS diburu, membuat arus dana keluar dari pasar negara berkembang membuat mata uang melemah dan sebaliknya dolar AS meroket.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Samuel Kesuma, untuk jangka pendek, kondisi likuiditas internal atau domestik, diperkirakan masih akan relatif ketat, karena pemulihan ekonomi yang belum sesuai harapan. Hal ini terlihat dari rasio LDR perbankan yang masih cukup tinggi.
|Baca juga: Perekonomian Indonesia Disebut Tangguh di Tengah Perlambatan Ekonomi Global
Namun ke depannya, terdapat peluang perbaikan situasi likuiditas secara bertahap melalui perbaikan daya beli konsumen yang didorong kebijakan pemerintah yang suportif dan penerapan kebijakan DHE yang baru. “Penerbitan SRBI yang terus dikurangi secara bertahap juga akan berdampak positif pada kondisi likuiditas domestik,” katanya.
Di sisi lain, kondisi likuiditas global akan sangat tergantung pada kebijakan The Fed ke depannya. Untuk saat ini, The Fed masih cenderung mengambil sikap hati-hati. “Pasar saat ini terus memantau arah kebijakan Trump yang akan sangat berpengaruh pada outlook inflasi dan kebijakan suku bunga ke depan,” tuturnya.
Di tengah situasi yang penuh ketidakpastian saat ini, MAMI melihat sektor konsumer memiliki kualitas bisnis dan volatilitas kinerja laba yang relatif baik dan memiliki risiko yang lebih rendah terhadap kemungkinan negative surprise ke depannya. Kebijakan pemerintah yang lebih pro terhadap pemulihan daya beli masyarakat umum juga diharapkan akan berdampak positif pada outlook penjualan emiten di sektor konsumer.
Selain itu, sektor perbankan saat ini diperdagangkan diberi valuasi yang lebih menarik setelah koreksi harga saham yang dipicu aksi jual dari investor asing. Likuiditas yang relatif ketat saat ini akan diperkirakan akan berangsur membaik ke depannya. “Adapun tekanan jual dari pemegang saham asing kemungkinan besar akan berkurang atau bahkan berbalik arah jika The Fed mengambil kebijakan suku bunga yang lebih dovish di semester kedua nanti,” jelas Samuel.
Editor: S. Edi Santosa
Caption: Chief Investment Officer-Equity MAMI, Samuel Kesuma. (foto: doc. MAMI)
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News