Media Asuransi, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta W. Kamdani, menyampaikan pentingnya membangun konsep Indonesia Incorporated sebagai strategi kolektif dalam menghadapi tantangan ekonomi global. Menurutnya, konsep ini bukan sekadar gotong-royong.
Hal ini dia sampaikan dalam forum diskusi Meet the Leaders yang diadakan Universitas Paramadina, Jakarta, dengan tema “Indonesia Incorporated: Driving Job Creation and Economic Resilience in an Era of Global Uncertainty”.
“Indonesia Incorporated bukan hanya sekadar gotong-royong tapi lebih dari itu yakni sebagai bagian dari pemegang saham, yang punya hak dan kewajiban. Hak, tidak hanya deviden tapi hak untuk kita bisa menyampaikan sesuatu dan bisa dilaksanakan. Kewajiban kita, harus membantu bagaimana bisa membesarkan korporasi kita agar bisa sukses dan besar,” kata Shinta dalam keterangan resmi Universitas Paramadina yang dikutip Jumat, 12 September 2025.
|Baca juga: BI: Surplus Neraca Perdagangan Meningkat, Topang Ketahanan Ekonomi
Shinta yang juga CEO Sintesa group ini menggambarkan Indonesia yang diharapkan ke depan sebagai negara yang maju dalam karya, adil dalam kesempatan, hijau dalam alam, serta bersatu dalam keragaman. Menurutnya, Indonesia harus melampaui ketergantungan pada sumber daya alam dan berfokus pada inovasi. Dia menyoroti bahwa peringkat nilai tambah produk ekspor Indonesia justru menurun, dari posisi 54 pada tahun 2000 menjadi 70 pada 2023.
Menurutnya, setiap warga negara juga harus mendapat akses yang sama untuk berkembang. “Sementara partisipasi tenaga kerja wanita hanya 56,42 persen sedangkan laki-laki mencapai 84,66 persen,” ungkapnya.
Kemajuan sejati, tambahnya, adalah ketika pertumbuhan ekonomi tidak mengorbankan kualitas lingkungan, dan persatuan dalam keragaman harus menjadi kunci memperkuat bangsa.
|Baca juga: BI Luncurkan KSK 45, Soroti Ketahanan Ekonomi di Tengah Ketidakpastian Global
Dia juga menyoroti pentingnya investasi pada sumber daya manusia. Dari total populasi 286 juta, sebanyak 153 juta merupakan angkatan kerja aktif. Generasi muda, khususnya 69 juta milenial dan 74 juta Gen Z, memiliki potensi besar karena lahir sebagai digital native, innovative, and adaptive.
Namun, Shinta mengingatkan adanya hambatan serius dalam penciptaan lapangan kerja. “Pada 2024 kebutuhan lapangan kerja mencapai 12,2 juta orang. Dengan kebutuhan lapangan kerja baru 4,4 juta orang. Pengangguran sebesar 7,8 juta orang, yang terserap hanya 4,8 juta orang. Tren ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam penciptaan lapangan pekerjaan,” jelasnya.
Selain itu, kualitas tenaga kerja dinilai belum sebanding dengan kebutuhan industri. Dari seluruh lulusan, 36,5 persen hanya berpendidikan SD dan lulusan S1 baru 12 persen. Akibatnya, hanya 26 persen pelaku usaha yang menilai tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan industri.
Persoalan besar lainnya adalah dominasi sektor informal yang hampir mencapai 60 persen, bahkan menurut data ILO dapat lebih dari 70 persen. “Informal sektor didominasi oleh UMKM yang 56 juta UMKM aktif jumlahnya. UMKM adalah kategori jenis atau level usaha. Sedang entrepreneurship atau wirausaha sekitar 3,5 persen dari populasi. Entrepreneur harus punya inovasi. Sebagian UMKM bisa dianggap entrepreneur tapi kebanyakan UMKM tidak punya inovasi dan tidak dianggap entrepreneur,” jelas Shinta.
Sebagai perbandingan, tingkat kewirausahaan di Thailand mencapai 4,8 persen dari populasi, sementara Singapura bahkan 11-12 persern. Shinta menegaskan bahwa peningkatan jumlah wirausaha sejati merupakan kunci bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus penciptaan lapangan kerja yang berkualitas.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News