Media Asuransi- JAKARTA – Kepercayaan dalam transaksi digital kini menjadi fondasi utama dalam menghindari penipuan dan pemalsuan dokumen. Verifikasi dokumen digital tidak kalah penting dibanding dokumen fisik.
Hal ini disampaikan Chief Executive Officer (CEO) PT Privy Identitas Digital, Marshall Pribadi, Diskusi Panel Privy X AFTECH, Kamis, 15 Mei 2025. Dia memberi contoh kasus di industri pembiayaan kendaraan bermotor, yakni banyak dealer menerima purchase order (PO) palsu yang dikirim melalui pesan instan seperti WhatsApp.
|Baca juga: VIDA Sign, Solusi Legalitas Tanda Tangan Digital
PO tersebut secara visual identik dengan yang asli tesedia lengkap dengan kop surat, tanda tangan, hingga nama pejabat, namun ternyata palsu dan menimbulkan kerugian finansial.
“Secara visual kan gak ada bedanya kan (PO), logo perusahaan multifinance-nya sama, font-nya sama, nama pejabat yang tanda tangan juga sama. Tapi pas dia nagih nih, menurutnya (perusahaan leasing) kita gak pernah menerbitkan dokumen tersebut,” tutur Marshal.
Menurutnya, masalah ini bisa dihindari jika perusahaan tidak lagi menerbitkan dokumen digital tanpa tanda tangan elektronik tersertifikasi. Dia menekankan pentingnya menggunakan sistem seperti yang disediakan oleh Privy, yang telah terdaftar sebagai Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) resmi di bawah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
|Baca juga: Implementasi Tanda Tangan Digital Beri Jaminan Keamanan Transaksi Elektronik
“Jadi bagaimana bedanya? Nah jadi ini yang sebenarnya kita harus bangun. Dari sisi perusahaan, harusnya tidak lagi menerbitkan dokumen digital yang tidak ditanda tangani dengan tanda tangan elektronik tersertifikasi,” jelas Marshall.
Tanda tangan elektronik dari Privy datang dengan garansi sertifikat atau certificate warranty. Artinya, jika pengguna mengalami kerugian akibat pemalsuan identitas dalam proses penerbitan sertifikat, maka Privy wajib mengganti kerugian tersebut, sesuai regulasi dan ketentuan yang telah ditetapkan.
Lebih lanjut, dia juga mengingatkan bahwa kejahatan berbasis digital kini makin canggih dari rekayasa sosial, pemalsuan KTP, hingga penggunaan teknologi AI untuk menyamar secara visual. Dalam banyak kasus, masyarakat maupun pelaku usaha tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban.
“Jadi 10 tahun terakhir, growth dari perekonomian digital kita sudah sangat maju in terms of inklusi. Sekarang mungkin kita harus fokus ke literasi, termasuk literasi mengenai ya keamanan dan keterpercayaan di ruang digital,” tutur Marshall.
Caption:
Sarah Dwi Cahyani
editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News