1
1

Akses dan Tata Kelola Jadi Tantangan Utama Insurtech Kembangkan Produk Asuransi Berbasis Data

Ilustrasi. | Foto: Freepik

Media Asuransi, JAKARTA – Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) menegaskan tantangan utama yang dihadapi industri insurtech Indonesia dalam mengembangkan produk berbasis data bukan sekadar soal ketersediaan data. Akan tetapi terutama menyangkut akses, standarisasi, dan tata kelola data.

Wakil Ketua Umum V Aftech Bidang Insurtech Bryan Silfanus menjelaskan pengembangan produk asuransi berbasis data harus dilihat dari dua sudut utama, yakni penetapan harga (pricing) dan pemrosesan klaim. Keduanya, menurut Bryan, sama pentingnya meskipun membutuhkan jenis data yang berbeda.

“Menurut saya penting untuk membaginya menjadi dua kategori. Saat Anda melihat data saat membuat produk, ini bukan hanya tentang harga. Tentu saja model penetapan harga sangat penting, tetapi proses klaim juga penting,” ungkap Bryan, dalam acara Mandiri BFN Fest 2025, di Jakarta, Kamis, 11 Desember 2025.

Ia menyoroti industri sering kali hanya berfokus pada data untuk pricing. Padahal data yang dibutuhkan untuk mempercepat proses klaim jauh lebih kompleks. Tantangan utama, lanjut Bryan, bukan minimnya data, tetapi akses serta standarisasi data yang belum merata.

|Baca juga: OJK Catat Kinerja Pasar Modal RI Tetap Ciamik di November 2025

|Baca juga: Berikut Prediksi IHSG dan 4 Rekomendasi Saham untuk Jemput Cuan di Akhir Pekan

|Baca juga: OJK Kenakan Denda Rp1,005 Miliar kepada 8 Pihak di Pasar Modal

“Kuncinya adalah aksesnya, akses dan standarisasi data. Tapi yang mungkin sedikit lebih sulit ada di sisi klaimnya,” ujarnya.

Pada produk asuransi parametrik, misalnya, yang bergantung pada indikator seperti banjir atau gagal panen, kecepatan dan keakuratan data menjadi faktor krusial. Namun, integrasi antarlembaga pemerintah, regulator, dan perusahaan asuransi belum sepenuhnya terhubung dalam satu ekosistem data yang terpadu.

Bryan menambahkan persoalan ini bukan karena regulator atau perusahaan enggan berbagi data, melainkan karena belum adanya platform terintegrasi yang memungkinkan pertukaran data berlangsung cepat dan efisien.

Di sisi lainnya, isu privasi data juga menjadi tantangan besar. Ia menegaskan pentingnya perlindungan data pribadi, terutama pada produk asuransi jiwa dan kesehatan yang menangani informasi sensitif seperti data klaim dan identitas nasabah.

“Kalau mau cepat kita harus pastikan juga keamanan data pribadi. Saat kami melakukan investigasi klaim atau saat proses membayar, tidak bocor. Atau tidak diproses dengan cara yang membahayakan integritas data,” terang Bryan.

|Baca juga: Bos Insurtech Australia Sebut Asuransi Parametrik Jadi Kunci Mitigasi Risiko Iklim di Indonesia

|Baca juga: Banjir Sumatra Berpotensi Picu Klaim Asuransi Hampir Rp1 Triliun, OJK Ungkap Rinciannya!

Dari perspektif yang lebih luas, Bryan menekankan pentingnya kolaborasi lintas asosiasi, termasuk AAUI, AAJI, Aparindo, dan DAI, untuk membangun fondasi data yang lebih kuat. Ia juga menyoroti perlunya penguatan tata kelola dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI).

Meskipun AI memberikan peluang besar bagi inovasi asuransi, namun pelatihan model berbasis data nasabah harus dilakukan dengan prinsip keamanan serta pencegahan penyalahgunaan. Bryan optimistis ekosistem data yang kuat dan terstandar dapat diwujudkan melalui kolaborasi menyeluruh antara asosiasi, regulator, dan pelaku industri.

Sehingga, lanjutnya, pengembangan produk dan pemrosesan klaim dapat berjalan lebih cepat, akurat, dan aman. “Saya optimistis bahwa melalui kolaborasi, kita bisa menyelesaikannya dengan efektif,” tutup Bryan.

Editor: Angga Bratadharma

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post AAUI Tegaskan Industri Asuransi RI Siap Perluas Penerapan Asuransi Parametrik
Next Post OJK Hentikan 2.263 Pinjol Ilegal hingga November 2025

Member Login

or