Media Asuransi, JAKARTA – Bank Indonesia (BI) telah melakukan penurunan suku bunga acuan yang cukup agresif di tahun 2025 yang akan segera berakhir. Di sisi lain, kebijakan pro pertumbuhan baru tecermin dalam kebijakan fiskal mulai akhir kuartal III/2025.
Untuk tahun 2026 mendatang, kemungkinannya akan berbeda. “Berbeda dengan tahun 2025 di saat penurunan suku bunga terjadi sangat agresif namun belanja negara agak terhambat, diperkirakan tahun 2026 justru penurunan suku bunga mulai akan terbatas, sementara belanja negara dapat lebih terakselerasi lebih cepat,” kata Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI), Freddy Tedja, dalam keterangan tertulis yang dikutip Jumat, 19 Desember 2025.
|Baca juga: Perkuat Kebijakan Moneter, Bos BI Buka Peluang Turunkan Suku Bunga Acuan
Dari sisi kebijakan moneter, di tengah tingkat suku bunga riil yang masih tinggi dan adanya urgensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, diperkirakan BI masih memiliki ruang penurunan suku bunga, walaupun sudah mulai terbatas. “Saat ini kami perkirakan BI Rate tahun depan akan berada di kisaran 4,25-4,50 persen,” tuturnya.
Sedangkan dari sisi kebijakan fiskal, pemerintah menargetkan tahun 2026 belanja negara dapat tumbuh 8,9 persen year on year (yoy). Namun yang lebih penting, menurut Freddy, kita berharap program belanja dapat diimplementasi lebih cepat dan tepat sasaran.
|Baca juga: Pasar Obligasi Mempertahankan Kinerja Positif di Fase Akhir Penurunan Suku Bunga
Hal ini diperlukan agar transmisi pada ekonomi juga lebih cepat terjadi, berbeda dari implementasi kebijakan fiskal tahun 2025 yang boleh dikatakan tidak berjalan mulus di tengah transisi pemerintahan, realokasi anggaran dan realisasi yang lambat.
Sementara itu, untuk menghadapi tantangan dan risiko yang ada, menurut Freddy ada tiga hal yang harus kita perhatikan dengan seksama. Pertama, akselerasi realisasi belanja negara. Kedua, keleluasaan ruang fiskal. Dan ketiga, pemulihan keyakinan investor asing.
Ddia tegaskan, peran belanja negara di 2026 cukup krusial bagi pemulihan ekonomi, sehingga realisasi yang lambat dapat menunda siklus pemulihan ekonomi. Di lain pihak, kapasitas atau keleluasaan belanja negara juga akan sangat bergantung dari penerimaan negara.
Sedang yang terakhir adalah pemulihan keyakinan investor asing, karena ketidakpastian iklim investasi domestik dan kebijakan pemerintah dapat mempengaruhi investasi asing di sektor riil.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
