Media Asuransi, JAKARTA – Suku bunga acuan tinggi saat ini menjadi perhatian dunia dan pelaku pasar, seiring dengan kekhawatiran akan terjadinya capital outflow dari negara-negara emerging market.
Seperti diketahui, di tengah pemulihan ekonomi dan lonjakan inflasi, bank sentral di negara maju secara perlahan mulai melakukan normalisasi kebijakan moneternya, dunia pun akan dihadapkan dengan berakhirnya era suku bunga yang rendah.
Baca juga: Kemenhub Bolehkan Maskapai Penerbangan Naikkan Harga Tiket
Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengungkapkan bahwa situasi yang ada saat ini tentu akan sangat berat bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan, karena mereka sudah terbebani dengan utang yang tinggi.
“Ruang fiskal yang terbatas dan sekarang mereka menghadapi kejutan lain, seperti ketahanan pangan dan energi atau krisis. Ini juga akan menciptakan beban besar bagi banyak negara berpenghasilan rendah,” tutur Sri Mulyani dalam konferensi pers FMCBG G20 ke-2 secara virtual, Kamis, 21 April 2022.
Oleh karena itu, negara G20 juga turut menganalisis keberlanjutan utang. Diskusi tentang bagaimana ini berasal dan upaya apa yang harus dilakukan, restrukturisasi utang, pembayaran utang yang tepat waktu dan efektif, terus dibahas.
Baca juga: ASII Bagi Dividen Rp9,67 Triliun, Ini Jadwalnya
“Sehingga negara berpenghasilan rendah bisa memperhitungkan dengan cermat. Bahkan negara berkembang saat ini juga terkena implikasi dari suku bunga yang lebih tinggi. Penting untuk dimitigasi bersama dan saya pikir ini akan menjadi hal yang sangat kritis,” jelas Sri Mulyani.
Beberapa negara anggota G20 berpandangan bahwa dalam memasuki era suku bunga tinggi, dibutuhkan suatu mekanisme yang kredibel, dapat diprediksi, dan tepat waktu.
China sebagai salah satu negara kreditur terbesar di dunia, juga saat ini tengah dilihat secara teliti kasus per kasus. Negara G20 juga mendorong agar China menangani utang dengan lebih kredibel.
“Banyak diskusi tentang transparansi dan juga meminta partisipasi lebih kepada China, termasuk lembaga pembangunan multilateral untuk mau melakukan restrukturisasi utang,” tuturnya.
Pasalnya tekanan yang datang, menjadi lebih kritis dan penting bagi G20 untuk dapat memberikan kepastian, sekaligus jalan keluar dalam cara yang paling efisien, pasti, dan kredibel.
“Ini akan menjadi isu yang perlu kita diskusikan lebih lanjut dalam pertemuan G20. Peran IMF (International Monetary Fund) dan China akan sangat sedikit berperan untuk dapat memfasilitasi diskusi semacam ini,” jelas Sri Mulyani.
Pasalnya saat ini, utang yang menggunung yang dialami beberapa negara di dunia bukan hanya berasal dari kreditur tradisional. Sehingga dengan begitu, dibutuhkan kreditur baru untuk kemudian dapat membangun kepercayaan, serta mekanisme untuk berdiskusi dengan kreditur lain.
Sehingga negara berpenghasilan rendah yang kini kesulitan karena terperangkap utang yang tinggi, bisa kemudian lebih ringan bebannya.
“World Bank juga memainkan peran yang sangat penting. Jadi, peran IMF dan World Bank sebenarnya krusial. Hal ini membutuhkan pembahasan lebih lanjut pada pertemuan G20 selanjutnya,” tuturnya. Aha
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News