1
1

Bappenas Nilai Peluang Pertumbuhan Ekonomi 8% Masih Terbuka

Paparan dari Deputi Bidang Infrastruktur Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris, di Webinar Nasional Gerak Jalan, Kamis, 18 Desember 2025. Sumber: Media Asuransi/Sarah Dwi Cahyani

Media Asuransi, JAKARTA – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas menilai peluang Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen di masa depan masih terbuka. Penilaian tersebut disampaikan meski realisasi pertumbuhan ekonomi nasional dalam satu dekade terakhir masih berada di kisaran lima persen.

Deputi Bidang Infrastruktur Bappenas, Abdul Malik Sadat Idris, mengungkapkan bahwa pada 2024 ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,0 persen, dengan rata-rata pertumbuhan selama 10 tahun terakhir mencapai 4,9 persen. Satu-satunya pengecualian terjadi pada 2020, ketika ekonomi nasional mengalami kontraksi tajam akibat pandemi Covid-19.

Capaian pertumbuhan tersebut dinilai relatif baik, namun belum cukup kuat untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara berpendapatan tinggi maupun negara maju pada 2045 sesuai target pembangunan jangka panjang nasional.

“Pada triwulan II/2025, ekonomi tumbuh 5,12 persen (yoy) di atas ekspektasi. Membutuhkan kerja keras untuk tumbuh lebih tinggi,” ujar Abdul dalam Webinar Nasional Hari Jalan, Kamis, 19 Desember 2025.

|Baca juga: Kepala Bappenas Usul Ada Dirjen Kemenkeu yang Mengurusi Keuangan Syariah

Dalam paparannya, Bappenas memetakan peluang pertumbuhan ekonomi delapan persen melalui tiga perspektif utama, yaitu pendekatan teoritis, pengalaman historis, serta tantangan struktural ke depan yang perlu diantisipasi secara komprehensif.

Dari sisi teoritis, Abdul mengacu pada konsep Augmented Solow Growth yang menjelaskan bahwa negara dengan pendapatan per kapita rendah memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi dibandingkan negara berpendapatan per kapita tinggi. Dengan pendapatan per kapita Indonesia yang saat ini berada di kisaran US$4.960, ruang akselerasi pertumbuhan dinilai masih tersedia.

“Masih bisa bertumbuh tinggi,” ujarnya.

Selain pendekatan teoritis, pengalaman sejumlah negara juga menjadi pembelajaran penting. Negara seperti Tiongkok mampu mencatatkan pertumbuhan rata-rata 8,6 persen per tahun saat berada pada fase negara berpendapatan menengah atas. Sementara itu, India dan Vietnam juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi tinggi pascareformasi ekonomi yang mereka lakukan.

Secara historis, Indonesia sendiri pernah mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang jauh lebih tinggi. Pada periode 1967–1997 (unrebased), ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 6,8 persen per tahun. Bahkan pada periode 1991–1996, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai rata-rata 7,2 persen per tahun.

Pada periode tersebut, perekonomian ditopang oleh tiga sektor utama sebagai penggerak pertumbuhan, yakni investasi, ekspor, dan industri, dengan dukungan sektor pertanian. Investasi, ekspor, dan industri masing-masing tumbuh rata-rata 9,9 persen, 11,1 persen, dan 10,7 persen per tahun, sementara sektor pertanian tumbuh 3,0 persen per tahun.

“Investasi, ekspor, dan industri tumbuh jauh lebih tinggi dari PDB. Pola atau jalur ini lebih efektif daripada membuat jalur baru misalnya melalui sektor jasa (testier),” sebut Abdul.

Meski demikian, Abdul menegaskan bahwa upaya menuju pertumbuhan ekonomi delapan persen menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satu tantangan utama adalah bonus demografi yang telah dinikmati Indonesia sejak 2012 dan diperkirakan akan berakhir pada 2037, sehingga memerlukan optimalisasi produktivitas tenaga kerja.

|Baca juga: Kepala Bappenas: Ekonomi Syariah Tidak Hanya Bawa Keadilan, tapi Juga Keberkahan

Tantangan lainnya adalah pembiayaan pembangunan, khususnya terkait kesenjangan antara tabungan dan investasi (saving-investment gap). Dengan asumsi incremental capital output ratio (ICOR) sebesar 6,5 dan target pertumbuhan delapan persen, Indonesia membutuhkan investasi sekitar 48 persen dari PDB.

Sementara itu, tingkat gross national saving saat ini baru berada di kisaran 37 persen. Kondisi tersebut menciptakan kesenjangan sekitar 10 persen dari PDB yang harus dibiayai, antara lain melalui masuknya investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI).

Dalam konteks tersebut, Abdul menekankan peran infrastruktur sebagai faktor strategis dalam mendorong pembentukan modal dan investasi. “Infrastruktur merupakan unsur penting dalam PMTB (pembentukan modal tetap bruto). Peranan konstruksi dan infrastruktur lainnya besar dalam PMTB,” ungkap Abdul.

Infrastruktur yang memadai dinilai mampu menciptakan iklim investasi yang lebih kondusif, baik bagi investor domestik maupun asing. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu kunci utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, inklusif, dan berkelanjutan.

Editor: Irdiya Setiawan 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Bank Indonesia Masih Punya Ruang Penurunan Suku Bunga di 2026
Next Post BRI (BBRI) Bakal Bagi Dividen Tunai Interim Rp20,63 Triliun

Member Login

or