Media Asuransi, JAKARTA –Bank Indonesia (BI) meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap kuat karena didukung oleh permintaan domestik. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi dunia melambat dengan ketidakpastian yang masih tinggi.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, mengatakan bahwa kinerja ekonomi kuartal III/2023 tumbuh sebesar 4,94 persen year on year (yoy), ditopang oleh kuatnya konsumsi rumah tangga dan meningkatnya investasi di tengah turunnya konsumsi pemerintah dan kinerja ekspor. Hal ini dia sampaikan dalam jumpa pers secara daring, Kamis, 23 November 2023.
Pertumbuhan juga didukung oleh kinerja positif sebagian besar Lapangan Usaha (LU), terutama LU Industri Pengolahan, Perdagangan Besar dan Eceran, serta Konstruksi. Secara spasial, seluruh wilayah masih tumbuh kuat, tertinggi di wilayah Sulawesi-Maluku-Papua (Sulampua).
|Baca juga: Bank Indonesia Pertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate Tetap Sebesar 6,00 Persen
Bank Indonesia memprakirakan pertumbuhan ekonomi akan tetap baik pada kuartal IV/2023, yang tecermin pada beberapa indikator dini seperti keyakinan konsumen, ekspektasi penghasilan, dan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur. “Secara keseluruhan, pertumbuhan ekonomi 2023 diprakirakan dalam kisaran 4,5 persen hingga 5,3 persen,” kata Perry.
Sementara itu pertumbuhan ekonomi 2024 diprakirakan meningkat, didorong oleh tetap baiknya keyakinan konsumen, positifnya pengaruh pelaksanaan Pemilu, dan berlanjutnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN). “Bank Indonesia akan terus memperkuat sinergi stimulus fiskal pemerintah dengan stimulus makroprudensial Bank Indonesia untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, khususnya dari sisi permintaan,” jelas Gubernur BI.
Secara global, ekonomi Amerika Serikat (AS) masih tumbuh kuat didorong oleh konsumsi rumah tangga dan sektor jasa yang berorientasi domestik. Sementara ekonomi China membaik, didukung oleh konsumsi dan dampak stimulus kebijakan fiskal.
“Secara keseluruhan, Bank Indonesia masih memperkirakan pertumbuhan ekonomi global tahun 2023 sebesar 2,9 persen dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024,” tutur Perry Warjiyo.
Dia tambahkan, inflasi di negara maju masih di atas target dengan tekanan yang mulai mereda. Dengan perkembangan inflasi ini, suku bunga kebijakan moneter termasuk Federal Funds Rate (FFR) diprakirakan bertahan tinggi dalam jangka waktu yang lama (higher for longer). Yield obligasi pemerintah negara maju, khususnya AS (US Treasury), naik tinggi karena premi risiko jangka panjang (term-premia) terkait tingginya kebutuhan untuk pembiayaan fiskal.
“Ketidakpastian pasar keuangan masih berlanjut dan berpengaruh terhadap volatilitas aliran modal dan tekanan nilai tukar di negara emerging market,” jelas Perry.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News