1
1

Dahsyat, China dan Rusia Jual Obligasi AS Hingga Rp4.215 Triliun

Ilustrasi investasi obligasi. | Foto: Ist

Media Asuransi, JAKARTA – Perang dagang yang dimulai pada awal 2018 menjadi awal retaknya hubungan China dengan Amerika Serikat (AS). Semenjak saat itu, China gencar melalukan dedolarisasi dan getol mendorong internasionalisasi yuan.

Salah satu cara China melakukan dedolarisasi dengan mengurangi kepemilikan obligasi AS (Treasury) dan semakin agresif dilakukan belakangan ini.

Data dari Departemen Keuangan Amerika Serikat (AS) menunjukkan pada Mei China melepas Treasury senilai US$ 23 miliar atau sekitar Rp345 triliun (kurs Rp15.000/US$).

Baca juga: Sah, Mahendra Siregar Pimpin OJK Hingga Tahun 2027

Untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir, kepemilikan Treasury China berada di bawah US$ 1 triliun, tepatnya sebesar mencapai US$ 980 miliar.

Jika dibandingkan dengan Mei 2021, nilai Treasury tersebut menyusut US$ 100 miliar atau sekitar 9%. Jika dirupiahkan dengan kurs Rp15.000/US$, dalam setahun China “membuang” Treasury senilai Rp1.500 triliun.

Bahkan jika dilihat sejak awal perang dagang, nilainya sudah dua kali lipat. Di akhir 2017, tercatat China memiliki Treasury sebesar US$ 1,18 triliun, naik US$ 126,5 miliar dari akhir 2018.

Baca juga: Deretan Artis yang Jadi CEO Perusahaan

China pun menjadi negara pemegang Treasury paling besar di dunia. Namun, Amerika Serikat yang saat itu dipimpin Presiden ke-45 Donald Trump mengobarkan perang dagang sejak awal 2018.

Hubungan kedua negara pun memburuk, China mulai mengurangi kepemilikan Treasury. Bukan tanpa alasan, jika China melepas Treasury dengan agresif maka perekonomian AS akan mendapat masalah besar.

Ketika Treasury yang dimiliki ‘dibuang’ dalam jumlah yang besar, maka kurs dolar AS bisa jeblok, harga Treasury akan merosot dan yield-nya melesat naik, suku bunga juga akan terkerek naik, pada akhirnya ekonomi AS akan merosot.

Meski demikian, langkah China tidak menimbulkan gejolak di pasar finansial karena dilakukan secara perlahan. Kepemilikannya saat ini sebesar US$ 980 miliar, dibandingkan akhir 2017 US$ 1,18 triliun, artinya berkurang US$ 200 miliar atau Rp3.000 triliun dalam waktu 5,5 tahun.

Berbeda dengan China, Rusia justru sangat agresif. Pada periode Maret sampai Mei 2018 atau dalam tempo 3 bulan saja, Rusia melepas Treasury yang dimiliki sebesar US$ 81 miliar (Rp1.215 triliun).

Bank sentral Rusia kala itu menyatakan kebijakan tersebut dilakukan untuk diversifikasi dan beralih ke emas.

Tetapi banyak yang melihat kebijakan tersebut dilakukan sebagai balasan ke AS yang memberikan sanksi kepada perusahaan aluminium asal Rusia, Rusal pada April 2018. Rusal terkait dengan taipan Oleg Deripaska yang juga dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Sanksi tersebut diberikan setelah Deripaska dikatakan berusaha ikut campur pada Pemilu AS 2016.

Tidak seperti China dengan kepemilikan yang jumbo, Rusia saat itu memiliki atau Treasury senilai USR 96,1 miliar. Artinya sekitar 84% dari total Treasury yang dimiliki dilepas dalam tempo 3 bulan saja.

Meski demikian, aksi Rusia tersebut tidak memicu gejolak di pasar finansial, sebab sekali lagi kepemilikannya tidak sebesar China atau Jepang yang saat ini menjadi negara dengan Treasury terbesar, senilai US$ 1,2 triliun.

Tetapi aksi Rusia tersebut jauh lebih dahsyat ketimbang China, dan menunjukkan Rusia melepas ketergantungannya terhadap dolar AS.

Berdasarkan data dari Statista, hingga akhir April lalu, Rusia hanya memiliki Treasury sebesar US$ 2 miliar. Aha

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post Sah, Mahendra Siregar Pimpin OJK Hingga Tahun 2027
Next Post OJK Cabut Sanksi Pembekuan Kegiatan Usaha Hewlett Packard Finance

Member Login

or