1
1

Deretan Negara Ini Hancur Karena Utang Menggunung

Media Asuransi, JAKARTA – Kenaikan suku bunga acuan di tingkat global akan berdampak besar terhadap negara dengan prospek ekonomi buruk. Negara-negara tersebut akan ditinggal investor sehingga kesulitan memperoleh pembiayaan dan meredam depresiasi nilai tukar.

Pekan ini, Bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) dan bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserves (The Fed) kompak menaikkan suku bunga acuan mereka. Bank Sentral Eropa atau European Central Bank (ECB) juga sudah memutuskan akan menaikkan suku bunga acuan pada bulan depan.

Baca juga: 3 BUMN yang Mengalami Rugi Terbesar

Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan kebijakan moneter ketat akan semakin dianut banyak negara. Karena itulah, mereka mewanti-wanti jika ongkos pinjaman akan naik dan pertumbuhan ekonomi bisa melemah.

Bank Dunia dalam laporan terbarunya Global Economic Prospects juga mengingatkan hal yang sama. Kenaikan suku bunga acuan dan tingginya inflasi akan membuat sejumlah negara berjuang keras menahan arus modal keluar.

Seperti diketahui, inflasi Turki melesat hingga 73,5% (year on year/yoy) pada Mei tahun ini, atau mencatatkan rekor tertinggi sejak Oktober 1998. Turki juga selalu mencatat defisit transaksi berjalan sejak 2012, kecuali pada tahun 2019.

Pertumbuhan ekonomi mereka melemah menjadi 1,2% (yoy) pada kuartal I/2022 dari 1,5% pada kuartal sebelumnya.

Bank Dunia bahkan meramal pertumbuhan Turki akan anjlok dari 11% pada 2021 menjadi 2,3% pada tahun ini.

Dalam laporannya, Bank Dunia mengingatkan negara yang berstatus importir komoditas akan menghadapi goncangan dalam utang jangka pendek dan derasnya outflow, terutama di pasar saham.

Baca juga: 5 Startup Terbesar di Dunia Diserang Gelombang PHK

Sebaliknya, negara dengan ekspor komoditas dalam jumlah besar seperti Indonesia akan memiliki kemampuan meredam gejolak eksternal lebih baik.

“Lonjakan inflasi, kenaikan suku bunga, beban utang besar, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat akan membuat pasar keuangan sejumlah negara tertekan,” tulis Bank Dunia.

Bank Dunia mengatakan tidak ada kawasan yang bebas dari risiko outflow. Menurut mereka, sebagian besar negara emerging market dan berkembang akan mengalami capital outflow dalam jumlah besar yang membuat otoritas fiskal mempercepat langkah pengetatan fiskal.

Pengetatan kebijakan moneter negara-negara maju juga akan membuat kawasan Asia Tenggara dan Pasifik berjuang keras menahan outflow. “Negara-negara yang mengandalkan modal asing jangka pendek seperti Mongolia dan Dailan akan terimbas sangat besar,” tulis Bank Dunia.

Rasio utang pemerintah dan swasta yang melonjak sejak 2019 juga menjadi persoalan bagi negara seperti Fiji, Laos, dan Mongolia. Utang yang besar membuat mereka kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan saat investor asing kabur. Rasio utang pemerintah dan swasta Fiji terhadap PDB mencapai 80% sementara Laos dan Mongolia yang memiliki rasio utang 60% terhadap PDB juga tidak akan mengalami hal serupa.mencapai 60%.

Bank Dunia juga menyoroti kemampuan Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka dalam meredam capital outflow seiring besarnya utang dan buruknya prospek ekonomi mereka. Negara tersebut kini berjuang dengan lonjakan yield surat utang, inflasi, dan depresiasi mata uang.

Sub Sahara Afrika menjadi wilayah yang paling mengkhawatirkan karena banyaknya negara yang akan mengalami goncangan kenaikan harga dan utang akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.

“Pengetatan kondisi keuangan global akan sangat menyulitkan mereka dalam mengakses pembiayaan. Mereka juga harus berjuang untuk menghadapi dampak ganda dari perang yakni inflasi dan capital outflow,” tulis Bank Dunia. Aha

 

| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Related Posts
Prev Post 3 BUMN yang Mengalami Rugi Terbesar
Next Post Keren, Cadangan Devisa Indonesia Naik

Member Login

or