Media Asuransi, JAKARTA – Di awal bulan Januari ini, Internastional Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa di tahun 2023 sepertiga ekonomi dunia akan mengalami resesi, terutama di negara maju. PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) memandang bahwa di paruh pertama tahun ini, kondisi penuh tantangan akibat dampak dari pengetatan moneter agresif tahun lalu yang akan mendorong terjadinya synchronized global growth downturn, sebelum akhirnya kondisi akan berbalik mulai membaik di paruh kedua.
“Analisa kami menunjukkan bahwa sebagian besar ekonomi negara maju berpotensi untuk mengalami resesi. Gabungan dari sektor properti yang relatif lemah terutama pada beberapa negara yang sensitif terhadap kenaikan suku bunga, serta ketidakseimbangan neraca perdagangan atau negative terms of trade, karena biaya impor terutama untuk energi jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan ekspor,” kata Portfolio Manager Equity MAMI, Andrian Tanuwijaya, dalam keterangan resmi yang dikutip Selasa, 31 Januari 2023.
Dia tambahkan, kabar baiknya adalah di tengah berbagai tantangan global, posisi kawasan Asia relatif resilien. Dari perspektif kebijakan moneter, inflasi Asia yang lebih rendah dibandingkan kawasan negara maju dan kenaikan suku bunga yang lebih terbatas mendukung laju pertumbuhan ekonomi dan kinerja pasar finansial Asia yang lebih terjaga.
|Baca juga: MAMI Prediksi Pertumbuhan Ekonomi Global 2023 Sangat Rendah
Sementara itu kebijakan China terkait Covid-19 yang berubah drastis memang mengagetkan. Walaupun demikian, sebenarnya perubahan kebijakan ini dapat berdampak sangat positif bagi momentum pertumbuhan ekonomi yang sempat sangat lesu terpukul oleh kebijakan lockdown yang terlalu ketat.
Memang, dalam jangka pendek tantangan masih akan berlanjut khususnya dari potensi ledakan kasus Covid-19. Namun gelombang ini diperkirakan akan mereda dan normal kembali di akhir kuartal pertama atau awal kuartal kedua 2023.
Penerima manfaat paling langsung jelas adalah domestik ekonomi China sendiri, namun negara-negara Asia lainnya yang merupakan mitra dagang dan negara yang perekonomiannya dikontribusi cukup tinggi dari aktivitas wisatawan China, akan menerima keuntungan dari pembukaan kembali perekonomian dan mobilitas China. “Pada akhirnya, kondisi ini dapat mendorong sentimen yang lebih positif pada pasar saham kawasan Asia,” jelas Andrian.
Menurutnya, tidak dapat dimungkiri bahwa pembukaan kembali ekonomi China dan kondisi suku bunga yang sudah memuncak menyebabkan aksi jual investor asing. Mereka merotasikan dananya dari pasar finansial yang kinerjanya sudah unggul, untuk masuk kembali ke pasar finansial yang sebelumnya tertekan, termasuk China.
Namun yang perlu dipahami adalah rotasi aliran dana yang terjadi bukan karena kondisi Indonesia yang kurang baik, namun semata-mata negara lain sedang memiliki ‘cerita baru’. “Kami menilai bahwa rotasi ini bersifat sementara dan ketika sudah mencapai nilai fundametalnya maka pergerakan pasar pun akan lebih stabil,” tuturnya.
Ketahanan makro ekonomi yang semakin baik dan perubahan struktural hilirisasi industri yang mendorong derasnya arus masuk penanaman modal asing, akan dapat menjadi katalis utama yang dapat membuat investor asing kembali melirik pasar saham Indonesia. Apalagi saat ini kepemilikan investor asing pada pasar saham Indonesia yang masih relatif rendah.
|Baca juga: Bank Indonesia Perkirakan Pertumbuhan Ekonomi Global Semakin Melambat
Lebih lanjut dia jelaskan bahwa saat ini banyak negara maju yang mengalami revisi penurunan pertumbuhan earnings terkait potensi resesi. Sebaliknya, Indonesia diperkirakan masih akan mengalami pertumbuhan earnings yang relatif stabil, didukung oleh kondisi makro ekonomi yang solid. Memang pertumbuhan laba per saham (EPS) tahun 2023 terlihat tidak spektakuler, diperkirakan tumbuh 6 persen saja. Namun apabila sektor komoditas tidak diikutsertakan dari perhitungan EPS, sebenarnya cukup banyak sektor-sektor unggulan lain yang berpotensi tumbuh di level belasan persen.
Saat ini, risiko utama yang dicermati MAMI adalah faktor geopolitik dan potensi perlambatan perdagangan yang disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, meskipun meyakini bahwa posisi makro ekonomi Indonesia saat ini sudah relatif jauh lebih kuat dalam menghadapi volatilitas harga komoditas berkat efek program hilirisasi, MAMI melihat bahwa sentimen terkait citra Indonesia sebagai negara pengekspor bahan mentah masih melekat di mata investor. “Inilah yang menyebabkan volatilitas harga komoditas juga dapat menjadi risiko jangka pendek yang membayangi pergerakan bursa saham Indonesia,” kata Andrian.
Dalam kondisi seperti ini, MAMI memiliki outlook yang positif terhadap pasar saham Indonesia di 2023, apalagi koreksi yang terjadi (sementara ekspektasi earnings terjaga) membuka potensi penguatan yang menarik di pasar saham. Potensi katalis ganda dari peralihan kebijakan The Fed dan China dapat menopang sentimen yang lebih positif di pasar saham Asia, termasuk Indonesia.
Secara sektoral MAMI memiliki pandangan yang positif pada beberapa tema, seperti:
– Green energy
Didukung oleh pengembangan industri hilir logam yang berkelanjutan yang dapat berdampak positif pada volume penjualan dan dapat menopang nilai tukar rupiah lewat stabilitas pada neraca berjalan.
–Consumer discretionary dan financials
Meredanya tekanan inflasi dan meningkatnya aktivitas ekonomi menjelang pemilu serentak di 2024 dapat menjadi dorongan tambahan bagi aktivitas domestik, mendukung sentimen dan permintaan di sektor ini.
–Communication services
Ruang pertumbuhan top line yang stabil, ekspansi margin, kompetisi yang sehat serta didukung oleh selera pasar yang lebih kuat di sektor ini.
Editor: S. Edi Santosa
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Pasar Asuransi Kesehatan Dunia Diprediksi Tembus US$4,45 Triliun di 2032
Selasa, 24 Juni 2025
