Media Asuransi, JAKARTA – Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) memproyeksikan perbaikan perekonomian domestik pada kuartal II/2022 akan terus berlanjut, ditopang oleh peningkatan konsumsi dan investasi serta kinerja ekspor. Stabilitas sistem keuangan (SSK) berada dalam kondisi yang masih terjaga, di tengah tekanan perekonomian global yang meningkat, sebagai akibat berlanjutnya perang diUkraina, tekanan inflasi global, serta respons pengetatan kebijakan moneter global yang lebih agresif.
Resiliensi SSK kuartal II/2022 menjadi pijakan KSSK untuk tetap optimistis dengan terus mewaspadai seluruh tantangan dan risiko yang dihadapi. Hal ini ditekankan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mahendra Siregar, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudi Sadewa, dalam Rapat Berkala KSSK III tahun 2022 pada Jumat, 29 Juli 2022, di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), yang disampaikan dalam jumpa pers bersama, Senin sore, 1 Agustus 2022.
Menkeu mengatakan bahwa berbagai indikator dini pada Juni 2022 tercatat tetap baik. Indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh 15,4 persen year on year (yoy). Kinerja sektor manufaktur tetap positif sebagaimana tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih ekspansif di level 50,2 dan menguat kembali pada Juli 2022 ke level 51,3. Konsumsi listrik baik industri maupun bisnis juga tumbuh positif.Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) meningkat ke level 128,2 dari posisi Maret 2022 di level 111,0 yang menunjukkan optimisme masyarakat terhadap prospek pemulihan ekonomi.
|Baca juga: BI: Perbaikan Ekonomi Indonesia Terus Berlanjut
Sementara itu di sisi lain, pertumbuhan ekonomi global diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, disertai meningkatnya risiko stagflasi dan ketidakpastian pasar keuangan global. Tekanan inflasi global terus meningkat seiring dengan tingginya harga komoditas akibat berlanjutnya gangguan rantai pasokan, diperparah oleh berlanjutnya perang di Ukraina, serta meluasnya kebijakan proteksionisme, terutama pangan.
Berbagai negara, terutama Amerika Serikat (AS) merespons peningkatan inflasi tersebut dengan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif sehingga menahan pemulihan ekonomi dan meningkatkan risiko stagflasi. Pertumbuhan ekonomi berbagai negara, seperti AS, Eropa, Jepang, China, dan India, diprakirakan lebih rendah dari proyeksi sebelumnya, yang disertai dengan meningkatnya kekhawatiran resesi di AS. “Bank Dunia dan IMF merevisi ke bawah proyeksi pertumbuhan global tahun 2022. Bank Dunia merevisi dari 4,1 persen menjadi 2,9 persen dan IMF merevisi dari 3,6 persen menjadi 3,2 persen,” jelas Sri Mulyani.
Dia tambahkan, meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global mengakibatkan aliran keluar modal asing, khususnya investasi portofolio, dan menekan nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, menurut Menkeu, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) diprakirakan tetap kuat, di tengah meningkatnya tekanan terhadap arus modal. Transaksi berjalan kuartal II/2022 diproyeksikan mencatat surplus, lebih tinggi dibandingkan dengan capaian surplus pada kuartal I, terutama didukung oleh kenaikan surplus neraca perdagangan, sejalan dengan masih tingginya harga komoditas global. Pada Juni 2022 surplus neraca perdagangan tercatat mencapai USD5,09 miliar dan selama triwulan II 2022 mencapai USD15,55 miliar.
Neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan tetap terjaga didukung oleh aliran modal masuk dalam bentuk penanaman modal asing (PMA). Sementara itu, investasi portofolio pada kuartal II/2022 mencatat net inflow sebesar USD0,2 miliar. Namun demikian, memasuki kuartal III/2022 (hingga 28 Juli 2022), investasi portofolio mencatat net outflow sebesar USD2,05 miliar sejalan dengan ketidakpastian pasar keuangan global yang tinggi. Sementara itu, posisi cadangan devisa akhir Juni 2022 masih tetap kuat, tercatat sebesar USD136,4 miliar, setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor.
|Baca juga: Bank Indonesia: Momentum Perbaikan Ekonomi Indonesia Berlanjut pada Kuartal IV/2021
Menkeu juga mengingatkan bahwa tekanan terhadap nilai tukar rupiah meningkat sebagaimana juga dialami oleh mata uang negara-negara lainnya, di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi. Hingga 28 Juli 2022, secara year to date (ytd), nilai tukar rupiah melemah 4,55 persen, relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara di kawasan, seperti Malaysia (6,46 persen), India (6,80 persen), dan Thailand (9,24 persen).
“Sementara itu, perkembangan inflasi domestik perlu terus dicermati. Laju Inflasi menunjukkan tren meningkat karena tingginya tekanan sisi penawaran seiring dengan kenaikan harga komoditas dunia dan gangguan pasokan domestik,” tegas Sri Mulyani.
Laju inflasi Juli 2022 tercatat 4,94 persen yoy, meningkat dibandingkan Juni 2022 yang tercatat 4,35 persen yoy dan akhir kuartal I di level 2,64 persen yoy. Sementara itu, inflasi inti tetap terjaga pada level 2,86 persen yoy, didukung oleh konsistensi kebijakan BI dalam menjaga ekspektasi inflasi. Sinergi dan koordinasi terkait inflasi juga dilakukan BI dengan pemerintah melalui TPIP, dan dengan pemerintah daerah melalui TPID.
Sedangkan inflasi kelompok volatife food meningkat terutama oleh kenaikan harga pangan global dan terganggunya pasokan akibat cuaca. Inflasi kelompok administered prices meningkat dipengaruhi oleh inflasi angkutan udara. Tekanan inflasi akibat kenaikan harga energi global tidak sepenuhnya tertransmisikan pada administered price sejalan dengan kebijakan Pemerintah mempertahankan harga jual energi domestik melalui instrumen APBN.
“Dibandingkan dengan negara peers, seperti Thailand dengan inflasi 7,7 persen, India 7,0 persen, dan Filipina 6,1 persen, inflasi Indonesia masih relatif moderat,” kata Menkeu.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News