Media Asuransi, JAKARTA – Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari S&P Global tercatat di posisi 50,2 pada bulan Juni, turun dari 50,8 pada bulan Mei. Dengan perkembangan ini, kondisi kesehatan manufaktur Indonesia secara umum dinilai mendekati stagnan.
Dikutip dari keterangan resmi S&P Global PMI, Jumat 1 juli 2022, pengoperasian sektor manufaktur Indonesia terus membaik pada bulan Juni, meski pada laju yang lebih lambat dalam sepuluh bulan.
Produksi manufaktur kembali ke wilayah ekspansi pada bulan Juni di tengah laporan pembangunan stok dan kenaikan permintaan. Volume permintaan baru terus berkembang, meski tercatat hilangnya momentum pertumbuhan.
Dengan permintaan terus meningkat, survei terkini mengarah pada kenaikan aktivitas pembelian. Sementara itu, kinerja pemasok tidak berubah dari kondisi pada bulan Mei karena permasalahan rantai pasokan masih menjadi kendala. Sehingga, bahan baku masih langka dan harga terus naik, mendorong kenaikan harga input dan output karena perusahaan meneruskan beban biaya pemasok kepada pelanggan.
|Baca juga: PMI Indonesia pada Mei 2022 Turun ke Posisi Terendah dalam 9 Bulan
Purchasing Managers’ Index™ (PMI™) Manufaktur Indonesia dari S&P Global tercatat di posisi 50,2 pada bulan Juni, turun dari 50,8 pada bulan Mei. Headline PMI kini tercatat di atas tanda tidak ada perubahan 50,0 selama sepuluh bulan berturut-turut. Namun demikian, data PMI bulan Juni turun ke posisi terendah pada periode yang disebutkan sebelumnya, tercatat sedikit di atas tanda netral 50,0 dan mengarah pada perbaikan kecil pada kondisi kesehatan sektor.
Produksi manufaktur kembali bertumbuh pada bulan Juni, sejalan dengan ekspansi berkelanjutan pada volume pesanan. Namun demikian, pertumbuhan pada output dan permintaan baru tergolong marginal. Dengan permintaan baru merupakan yang paling lambat dalam periode sepuluh bulan ekspansi terkini. Permintaan klien asing menurun pada bulan Juni, dan merupakan yang tercepat dalam sembilan bulan.
Tekanan inflasi bertahan pada bulan Juni. Menurut panelis, menyusul kekurangan bahan baku, kenaikan harga bahan baku mendorong kenaikan biaya. Lebih lanjut, kenaikan terkini pada PPN dilaporkan memperparah permasalahan tersebut.
Sejalan dengan kenaikan harga dari pemasok, perusahaan manufaktur Indonesia terus meneruskan beban biaya kepada klien, mengakibatkan kenaikan biaya output. Aktivitas pembelian naik selama sepuluh bulan berturutturut pada bulan Juni, dengan tingkat pertumbuhan paling tajam sejak bulan Januari. Sehingga, inventaris praproduksi secara umum tidak berubah.
Namun demikian, ketika kenaikan terjadi, perusahaan mengaitkan hal ini dengan akumulasi input tambahan untuk memenuhi permintaan saat ini. Perusahaan peserta survei mencatat kenaikan kecil pada inventaris pasca produksi menghadapi peluncuran produk baru. Optimisme di seluruh sektor manufaktur Indonesia kembali terlihat pada bulan Juni.
|Baca juga: Sektor Manufaktur di ASEAN Kehilangan Momentum Pertumbuhan
Harapan perbaikan ekonomi yang berkelanjutan dan penguatan permintaan paling banyak ditanggapi karena meningkatkan kepercayaan diri. Namun demikian, keseluruhan tingkat sentimen positif menurun ke posisi terendah dalam empat bulan. Sementara itu, penurunan tingkat ketenagakerjaan tercatat pada bulan Juni, setelah lima bulan ekspansi secara berturutturut pada jumlah tenaga kerja. Pada saat yang sama, tingkat pekerjaan yang belum terselesaikan turun marginal.
Ekonom di S&P Global Market Intelligence, Laura Denman, mengatakan bahwa menurut data PMI S&P Global, kondisi kesehatan sektor manufaktur Indonesia secara umum mendekati stagnan pada bulan Juni.
“Volume pesanan mengalami ekspansi pada laju lebih lambat dalam sepuluh bulan, dengan beberapa perusahaan mencatat kenaikan output berkaitan dengan upaya meningkatkan inventaris pasca produksi,” katanya.
Pada waktu yang sama, permintaan asing mengalami kontraksi tajam sejak bulan September 2021, menunjukkan bahwa keseluruhan ekspansi permintaan saat ini didukung oleh permintaan pesanan domestik.
“Menurut data bulan Juni, tekanan harga terus terjadi karena perusahaan terus memilih untuk berbagi lebih banyak beban biaya bahan baku dengan klien. Kenaikan harga masih menjadi risiko penurunan pertumbuhan. Dan jika inflasi terus memburuk, permintaan domestik bisa terdampak. Yang artinya sektor manufaktur Indonesia terus mengalami kehilangan momentum pertumbuhan,” jelasnya.
| Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News